Temenan yuk.

"Do, lihat nih!"

Sebuah ucapan yang menghentikan langkah suntuk gue siang itu untuk berhenti sejenak di depan mading di dekat laboratorium komputer.

"Open Recruitment Panitia PPSMB 2012"

Kurang lebih begitulah judul yang ada di poster berwarna merah yang terpampang di mading kala itu.

"Wah, mayan nih, Do. Daftar nggak?", tanya salah seorang teman gue.

Gue lihat lagi poster oprec panitia ospek tersebut dan berkata dalam hati, "Wah, lumayan nih. Siapa tau dapet jodoh. Sambil berenang, minum air."

Note: semakin ke sini gue jadi sadar, ada peribahasa lain yang lebih cocok, yaitu "Sambil wifi-an, kenalan sama mbak-mbak di meja sebelah"

Serius. Mungkin faktanya hampir 65% mahasiswa yang punya niat daftar jadi panitia ospek itu juga punya niat buat cari gebetan. Entah gebetan dari mahasiswa baru ataupun gebetan dari sesama panitia ospek. Sewaktu wawancara oprec bisa saja mereka bilang bahwa tujuan ikut kepanitiaan adalah biar dapet relasi dan pengalaman.

Singkat cerita, akhirnya gue dan beberapa teman gue sepakat buat ikutan panitia ospek. Sebagian besar ikut jadi panitia ospek jurusan, sedangkan gue sendiri ikut kepanitiaan ospek fakultas. Ospek fakultas yang tentu saja ruang lingkup buat cari "relasinya" lebih luas.

Gue nggak sendirian, ada teman gue yang namanya Jisung yang juga ikut-ikutan daftar jadi panitia ospek fakultas. Sebuah langkah yang bisa dibilang awal dari berbagai cerita manis dan pahit di kisah percintaan Jisung. (baca kisah Jisung di sini)

...

Pada hari wawancara oprec, kami berdua datang kepagian.

"Wah, yang tugas wawancara pemandu belum ada bro, gimana? Yawis, kene tak wawancarai wae karo kancaku", ucap salah satu panitia bertubuh tambun, yang kemudian gue kenal sebagai mas Yoga.

Jisung diwawancarai oleh ketua kepanitiaan PPSMB, sedangkan gue diwawancarain oleh mas Yoga, yang semula gue kira dari bagian panitia keamanan ternyata dia steering committee.

Skip, skip. Kita berdua keterima jadi panitia ospek, bagian pemandu. Entah karena kita yang emang masuk kualifikasi buat jadi pemandu atau pendaftarnya yang emang pas sama kuota pemandu yang dibutuhin.

Agenda pertama setelah pengumuman hasil wawancara adalah technical meeting, bertempat di lobby kampus. Gue berangkat bareng Jisung. Karena nggak ada yang dikenal, kami kemana-mana selalu barengan. Jalan kesana kemari sambil ngobrolin sesuatu yang nggak jelas, dan berusaha berbicara selirih mungkin sehingga cewek di sebelah nggak sadar kalau dua cowok kampret ini lagi ngomongin dia.

Di TM yang pertama, kami disuruh untuk memperkenalkan diri dengan cara saling tanya.

       Halo, nama saya Arif Widodo Pratama. Biasa dipanggil Ido, bla bla bla. Mbak yang nampak cantik dan sehat, siapa namanya? *gue nunjuk seorang cewek berbadan gempal untuk memperkenalkan diri*

Dan begitu seterusnya, saling tunjuk.

Gue pasang mata sama telinga gue baik-baik. Tiap kali yang berdiri dan memperkenalkan diri kelihatan bening, hati gue langsung berontak sambil bilang "Aku mau jadi partnernya yang ini!", sementara di lain pihak otak Sherlock Holmes gue langsung bangkit, gue hafalin nama dan asal prodinya buat nanti dicari di kertas list nomor hape pemandu yang udah disediain sama panitia.

Dan benar saja, sewaktu sesi perkenalan mata gue kecantol sama satu sosok pemandu yang waktu itu pakai pakaian yang serba kuning. Yang pasti cewek, karena dia berhijab.

Mungkin kisah tentang mbak-mbak berbaju kuning bakal kita bahas di lain cerita. Sebuah cerita yang cukup panjang untuk diceritain.

Skip skip, sesi setelah perkenalan adalah pengelompokkan pemandu, siapa partnernya dan regu mana yang bakal dia pandu.

Technical meeting selesai, dan gue udah tahu siapa partner gue. Mbak Nely, anak kehutanan angkatan 2010, satu tingkat di atas gue.

Nama lengkapnya Nely Fibriana Rachman. Jangan salah nulis kata Rachman kalau nggak mau diomelin sama mbak Nely, harus pakai c, Rachman.

"Heh, Rachman pakai c. Duh, udah kayak marga nih, jangan ampe salah", begitulah reaksi mbak Nely sewaktu temannya hampir salah nulis nama dia di name tag pemandu.

Mbak Nely orangnya asik, enak diajak ngobrol dan "grapyak" kalau kata orang Jawa. Seorang mahasiswi traveler dengan wajah khas seorang wanita Jawa. Dan mbak Nely itu manis, lebih manis dari es teh di warung burjo yang gulanya nggak pernah diaduk dan cuma nempel di bagian bawah gelas.

Tapi sayang, mbak Nely nggak begitu tinggi.

Buat mbak Nely yang kalau kebetulan lagi baca, maaf ya mbak.

Ah iya, buat yang penasaran si Jisung dapet partner yang kayak gimana, bisa ditanyain langsung sama orang yang bersangkutan.

...

Singkat cerita, daftar mahasiswa baru udah diterima dan gue sama mbak Nely langsung koordinasi tentang pembagian tugas SMS.

"Mbak, aku bagian yang SMS-in maba cewek ya? Mbak Nely SMS yang cowok", kata gue ke mbak Nely.

Dan seolah paham dengan maksud gue, mbak Nely langsung bilang "Iya deh, Rif. Aku SMS-in yang cowok"

Sempet ada masalah, karena beberapa anak namanya nggak bisa diidentifikasi itu nama cewek apa cowok. Mbak Nely ngiranya itu cewek, sedangkan gue ngiranya cowok.

Hari pertemuan tiba, gue mencoba memberi kesan pertama yang baik ke adik-adik maba, gue dandan serapi mungkin. Tapi apa daya, rambut godrong gue waktu itu langsung menghancurkan imej rapi yang coba gue bangun.

Pertemuan pertama dengan para adik-adik gamada bisa dibilang agak seret, karena yang dateng cuma sedikit. Setelah gue kasih tau seputar tugas-tugas yang harus mereka kerjain, kami bubar. Ada beberapa yang tetep stay buat tanya-tanya dan ngobrol. Yang jelas ngobrol sama mbak Nely, bukan gue.

Skip skip, kita lanjut ke pertemuan kedua, atau pertemuan terakhir di H-1 PPSMB universitas dimulai. Pertemuan kedua gue nentuin tempat di utara gedung rektorat. dan gue datang telat. Karena jarak halte trans jogja ke rektorat lumayan jauh.

Begitu sampai di utara rektorat, gue langsung disambut sama mbak Nely yang langsung curhat kalau dia barusan abis kena tilang karena nggak sadar kalau adik gamada yang dia boncengin itu nggak pakai helm.

Untuk pertemuan kedua, alhamdulillah semua berangkat. Cewek maupun cowok semua lengkap.

Sekali lagi gue coba buat nyiptain imej rapi. Tapi gue sadar kalau gue gagal sewaktu nggak sengaja denger ada yang bisik-bisik "Masnya sangar ya?"

Gue absen mereka, gue panggil satu-satu buat ditanyain asal daerah. Khusus gamada cewek, gue lamain dikit waktu buat absennya, karena mata dan hati itu waktu buat pengolahan datanya berbeda.

First impression? Mereka masih lugu dan polos, beberapa masih cupu banget mukanya. Ada yang langsung aktif berisik banget, ada juga yang cuma diem ngumpet di belakang temannya yang badannya agak gede.

Eits, jangan salah. Yang waktu pertama keliatan biasa aja, beberapa bulan kemudian bakalan keliatan cantik. Pertama kali ketemu mungkin keliatan kayak begini,


Dan beberapa bulan kemudian mereka secara ajaib akan berubah jadi kayak begini,


Ngeri kan? Tapi lebih ngeri lagi kalo ternyata begini,


WHY??? Kenapa kamu berubah?

Tapi terlepas dari itu semua, pertama kali jadi panitia ospek, not bad lah. Pertama kali berdiri di depan adik-adik yang harus dipandu. Dan pertama kali ngerasain kejatuhan tai burung sewaktu kumpul di utara rektorat.

...

Hari ospek pun tiba.

Karena sewaktu rabes terakhir dikasih tahu kalau panitia harus kumpul jam setengah 6, mau nggak mau gue harus berangkat dari rumah sebelum jam 5. Jalanan masih sepi, beberapa lampu lalin juga masih kuning.

Jam setengah 6 kurang gue sampai di area kampus. Setelah tiga kali muter-muter cari area parkir (maskam, perpustakaan, belakang kopma), akhirnya gue parkirin motor di dalam kampus yang masih sepi.

"Pak, parkir di situ ya saya? Panitia PPSMB, pak!", kata gue ke pak satpam yang lagi lihat TV di pos satpam.

Begitu gue keluar dari halaman kampus, di seberang jalan gue lihat ada cewek yang juga pakai seragam panitia lagi berdiri di pinggir jalan.

"Panitia juga ya?", nggak disangka dia nyapa duluan.

"Iya, mau ke GSP kan?", tanya gue ke dia.

Nggak begitu jelas siapa yang nyapa, karena waktu itu masih jam setengah 6 dan cuma lampu jalanan di Jalan Kaliurang yang menerangi langkah kami waktu itu.

Begitu belok ke arah kanan, jalan ke arah timur dan disinari sedikit sinar matahari, barulah kelihatan jelas siapa yang jalan di sebelah gue.

And guess what? Yang jalan di sebelah gue adalah cewek berbaju kuning yang sebelumnya udah gue sebutin di atas.

Allahuakbar! Mimpi apa gue semalem?

Kurang lebih lima menit kami berdua jalan bareng ke arah GSP, dengan iringan backsong lagunya Budi Doremi yang bergema di kepala gue sepanjang perjalanan. Lima menit, waktu yang cukup untuk mengingat nama, prodi dan logat jawanya yang medhok banget.

Sesampainya di depan GSP kami berdua pisah, nyamperin partner masing-masing.

"Buajiguuuurr, jalan sama siapa tadi, cuk?", tanya Jisung sambil nabok.

"Jawaban doa anak sholeh waktu shalat Subuh tadi", jawab gue sekenanya.

Ospek pun dimulai, dimulai dengan semua peserta berbaris di lapangan GSP bersiap-siap masuk ke GSP. Kelompok gue, kelompok Limbai sebelahan sama kelompoknya Jisung, yaitu kelompok Desa.

Sebelum masuk ke GSP dan dengerin berbagai materi yang bakal disampaikan, sebagai pemandu yang baik gue tanya sama adik-adik gamada gue, "Ada yang pusing? Ada yang sakit? Kalau ada tolong maju ke sini, kakak mau kasih pin khusus buat kalian."

"Kalau yang jomblo gimana, kak?", salah satu maba cowok nyeletuk.

"Kakak juga jomblo, dek. Ntar di dalem GSP kita cari ya?", jawab gue sekenanya.

"Hahahaha, oke mas", jawab dia sambil ngacungin jempol.

Panitia udah ngasih aba-aba buat masuk GSP, dan tugas gue buat menggiring mereka dimulai. Sewaktu sampai di sayap timur tiba-tiba ada adik maba yang maju ke depan dan bilang kalau ada anak yang pusing.

Namanya Khalifa Putri, yang udah pindah jadi mahasiswi sekolah kedinasan. Adik maba yang masih ingat sama kakak pemandunya setelah berbulan-bulan dan telpon buat pamitan kalau dia mau pindah kuliah.

Skip skip, semua gamada sudah masuk GSP, dan mereka sudah duduk sesuai pengelompokkan yang sudah dibuat panitia.

Hari yang bisa dibilang panjang, karena mereka harus duduk di dalam GSP sampai sore. Belum lagi hari itu bertepatan dengan hari Jumat, dan gue masih ingat bagaimana adik-adik maba gue yang cowok ketiduran sewaktu shalat Jumat di maskam.

...

Singkat cerita ospek kelar, semua balik ke aktivitas biasa. Hari pertama masuk kuliah gue ketemu sama teman-teman yang kemarin daftar panitia ospek, mereka cerita soal pengalaman ospek dan "hal" apa yang udah mereka dapet.

Si Ucup cerita kalo dia dapet kenalan sesama panitia dari sie P3K, si Alif cerita dapet kenalan adik maba dari kelompok lain, walaupun ujung-ujungnya kelihatannya dia cuma kena PHP. Dan si Jisung yang cerita tentang adik mabanya yang sebut saja bernama Hujan (bahasa inggris, dibalik).

"Sur, dapet apa?", tanya Ucup.

"Ha? Apaan? Aku mah kalo daftar kepanitiaan pasti profesional, nggak cari yang begituan", jawab gue sekenanya mencoba buat nutupin malu karena nggak dapet gebetan.

"Lah, yang jalan bareng waktu ospek itu gimana?", tanya si Jisung.

"Oh, yang itu..."

Belum sempat gue nyelesaiin omongan gue, tiba-tiba ada cewek berjilbab yang lewat dan nyapa.

"Mas Ido~", sapa dia.

"Eh?", gue cuma bisa bilang begitu.

"Itu siapa, Sur?", tanya Ucup sekali lagi.

"Itu mabaku ya?", gue sendiri juga agak bingung, karena dia kelihatan beda, padahal baru 3 hari nggak ketemu sehabis ospek.

"Udahlah, besok tahun depan daftar lagi. Siapa tau mbak-mbak berhijab yang kemarin itu daftar juga", ucap si Jisung.

Gue masih diam terpaku, mencoba mengingat-ingat wajah adik maba yang tadi nyapa. Sampai sesaat kemudian terlintas sesuatu di otak gue.

Mungkin tahun depan gue harus ikut kepanitiaan ospek lagi.

Puasa udah masuk minggu ke-2, tapi badan tiba-tiba bermasalah. Punggung rasanya sakit tiap kali buat nunduk. Sakitnya nyalur ke dada, sampai susah buat nafas. Ini serius, bukan karena kurang makan ataupun kurang kasih sayang.

Apa ini karma karena kemarin abis nubruk bocah pakai sepeda onthel?

"Mbok coba diperiksain ke dokter, le", ibu ngasih saran buat periksa ke dokter. Ibu juga ngasih rekomendasi klinik yang jadi tempat biasa ibu periksa kalau lagi sakit.

Sehabis buka puasa, gue langsung berangkat ke klinik. Klinik ini lumayan gede, karena ada tempat buat foto rontgen sama ruang buat penanganan operasi kecil maupun sedang.

Gue masuk dan langsung ke bagian pendaftaran.

"Arif, mas. 22 tahun."

Srett...srett, gue dapet kertas pendaftaran dari mas-mas petugasnya. Dan begitu gue lihat kertas pendaftarannya gue langsung tau kalau masnya orang Sunda. Karena nama gue ditulis Arip, bukannya Arif.

Singkat cerita, gue konsultasi sama dokter dan ditanyain banyak banget.

Q: "Sebelumnya udah pernah jatuh, mas?"
A: "Belum, dok." Tapi kalau jatuh karena cinta udah berkali-kali. Fufufu

Q: "Badannya kurus. Punya penyakit tertentu, mas?"
A: "Nggak, dok. Bawaan dari kecil." Ini karena semua nutrisi di lambung diambil sama hati saya dok.

...

Di ruang rontgen ketemu sama mbak-mbak. Mbak-mbak yang sepanjang proses rontgen selalu teriak-teriak ngasih instruksi, seakan-akan gue ini manula yang pendengarannya udah berkurang.

"Mas Arif, ini dipegang ya?", serius waktu bilang ini si mbak bener-bener teriak di samping kuping.

"Relaks aja mas."

"Nanti kalau ada aba-aba, silahkan ambil nafas dalam-dalam terus ditahan ya, mas?"

Mau gue jawab pakai teriak, gue nggak enak kalau dikira petugas komdis yang tega bentak-bentak cewek.

Begitu proses rontgen selesai, gue disuruh buat nunggu di ruang tunggu. Ruang tunggu yang waktu itu entah kenapa banyak anak-anak yang pakai sarung.

"Ah iya, ini kan udah liburan. Musimnya potong burung", begitulah kira-kira hal yang terlintas di benak gue kala itu.

Sepanjang gue duduk nungguin dipanggil buat ambil obat, gue udah lihat dua anak kecil yang mau sunat dianter sama keluarga besarnya. Mereka berbondong-bondong dateng ke klinik, ada yang satu bocah ditemenin lima orang anggota keluarganya. Mereka datang pakai tiga motor, satu motor dinaikin tiga orang.

Yang terlintas di pikiran gue adalah, itu bocah nanti pulang dari klinik gimana? Masak iya satu motor buat bertiga lagi? Nggak kegencet?

...

Gue duduk di ruang tunggu sebelahan sama anak kecil yang kayaknya mau sunat juga, karena dia pakai sarung. Dia ditemenin bapak sama ibunya, si ibu duduk di sebelahnya sementara si bapak nungguin di tempat parkir sambil ngisep rokok.

Dia duduk sambil mainan game Cut The Rope di smartphone ibunya.

Selang beberapa menit si ibu pamitan buat ke toilet, dan gue pun iseng-iseng ngajakin si bocah buat ngobrol.

Ido: "Mau ngapain dek? Sunat?"
Bocah: *manggut-manggut diem*
Ido: "Nggak takut?"
Bocah: *senyum-senyum terus melengos ke arah lain*
Ido: "Sunat nggak sakit kok dek."
Bocah: *ngeliatin*
Ido: "Tapi pas abis sunat perihnya bukan main. Kalau burungnya kesenggol sarung aja perih. Buat kencing juga perih."
Bocah: *diem nunduk, nguntel-nguntel sarung*

Dari kejauhan terlihat ibunya jalan keluar dari toilet. Dan gue pun bergegas pindah ke bagian pengambilan obat. Daripada si bocah ngadu, terus gue juga disuruh sunat nemenin dia. Beruntung banget nama gue langsung dipanggil buat giliran ngambil obat. Gue ambil obatnya, langsung bayar dan buru-buru pulang.

Entah si adek tadi jadi sunat apa enggak.

Waktu itu hari ke-3 di bulan Ramadhan. Seperti biasa, aktivitas gue sehabis berbuka puasa adalah tiduran sebentar mencoba ngelurusin perut yang agak sedikit begah akibat terlalu maruk waktu buka puasa.

Jam 18.40 adzan mulai terdengar saling bersahutan dari segala penjuru arah, dan gue pun bergegas ambil air wudlu dan siap-siap berangkat tarawih.

Sebelum berangkat gue dihadapkan oleh sebuah dilema. Stok celana panjang lagi kosong karena dicuci semua dan yang ada tinggal sarung.

Jujur, gue kalau ke masjid jarang pakai sarung. Bisa dibilang ini adalah trauma gara-gara dulu waktu masih kecil, waktu masih agak badung, sarung gue pernah dipelorotin sewaktu tarawih.

Oke, karena yang tersisa tinggal celana panjang training buat olahraga, akhirnya gue terpaksa pakai sarung.

Gue keluarin sepeda onthel tua peninggalan simbah buat transportasi ke masjid. Sebelum berangkat, gue dihadapkan oleh sebuah dilema lagi...

Ini sarungnya harus diangkat "dicincing" apa dibiarin terurai begitu saja waktu naik sepeda?

...

Sesampainya di area parkir masjid, gue parkir sepeda onthel tuanya dan bergegas masuk ke masjid sebelum barisan shaf dua dipenuhin sama anak-anak kecil yang suka lomba kenceng-kencengan bilang amin.

Shalat Isya' berlalu berlanjut ke tarawih, everything's fine, everything's under control. Walaupun tiap abis salam dan berdiri gue selalu nyempetin buat benerin sarung. Karena sarung yang gue pakai waktu itu memang teksturnya agak licin, jadi tiap abis sujud iketan di pinggangnya pasti kendur sedikit demi sedikit.

Dan gue nggak mau ibu-ibu di barisan pertama nanti mendapat pemandangan tak senonoh seandainya sarung gue melorot di tengah-tengah shalat.

Singkat cerita, waktu kultum pun tiba, pak ustadz naik mimbar dan pak imam pun segera menempatkan diri duduk senderan di pinggir tembok tempat imam bersiap liyer-liyer dan tertidur dengan santai.

Salah satu hal yang bisa membuat kita terlihat normal untuk tertidur sewaktu dengerin kultum adalah menjadi tua dan menjadi mahasiswa tingkat akhir yang tiap malam nggak tidur karen ngebut skripsi maupun tugas akhir.

Ustadz menutup kultum dilanjut imam bacain niat puasa, pertanda tarawih malam itu sudah selesai. Disusul pertanda lain yaitu segerombolan bocah yang tiba-tiba jadi anarkis, saling dorong buat masuk masjid sambil ngacung-ngacungin buku tipis yang mereka bawa.

"Woi, jangan dorong-dorong!", sontak anak kecil yang perempuan.

"Woi, datang belakangan bukunya ditaruh paling bawah!", padahal begitu terkumpul semua, tumpukannya dibalik. LOL

"Woi, pinjemin pulpen, ustadznya kagak bawa pulpen!"

"Woi, tadz! Tanda tangan lima kotak sekalian ya?"

"Woi, tadz! Nerima calon mantu yang pas-pasan nggak?"

Teriakan terakhir tadi mungkin adalah teriakan seorang kaum piyambakan yang ingin segera mendapat hidayah.

...

Karena tarawih udah kelar, gue pun bergegas menuju tempat parkiran mengambil sepeda onthel gue. Yang ada di pikiran gue waktu itu adalah pulang cepet dan makan nasi anget pake lele goreng yang tadi sore digoreng ibu. Gue kayuh sepeda onthel gue, melewati beberapa ibu-ibu yang sama-sama baru pulang tarawih.

"Mari, budhe."

Note: sapalah setiap orang yang kalian lewati. Walaupun terkadang orang yang kalian sapa itu malah nggak nanggepin kalian dan lebih milih buat "melengos". Repotnya hidup di desa, disapa malah melengos, giliran nggak disapa marah-marah ngatain kita yang bisu atau apalah.

Lanjut gue kayuh sepeda onthel gue, sampai tiba-tiba terjadilah kejadian memalukan itu.

Karena sarungnya nggak gue angkat waktu naik sepeda, alhasil sarung yang terurai nyangkut di pedal sebelah kiri dan "nyerimpet". Kaki kiri gue terperangkap di pedal, terikat oleh sarung.

Gue panik.

Dan akhirnya "Bruukkk!", gue nubruk bocah yang lagi lari-larian di depan gue. Adik kecil itu jatuh ndeprok di tanah, untung nggak kejatuhan sepeda.

Gue tengok ke belakang, si ibu cuma berdiri melototin gue. Gue berdiriin si adik dan minta maaf kemudian pergi berlalu sambil berkata dalam hati "Besok tarawih tempat lain dulu sementara."

"Do, lihat tuh! Bening banget, bro!"

Kira-kira begitulah susunan kosakata dan kalimat yang sering dilontarkan oleh teman-teman ketika melihat cewek cakep lewat di selasar kampus, tentu saja sambil nunjuk-nunjuk kayak tukang parkir.

Gue punya dua pilihan di sini: 1) lari nyamperin cewek cakep tersebut terus bilang ke dia, "kamu cantik, mau nggak aku promosiin ke instagram bidadariUGM?", atau 2) diam dan bersikap santai. Gue memilih pilihan kedua, karena gue cupu dan gue nggak begitu ngerti gimana cara gunain instagram.

"Iya, nih bro akun facebook-nya. Cantik sih, tapi alay sama suka nyepam notification game di facebook," kata gue dengan santai sambil nunjukin akun facebook cewek yang dimaksud bak salesman yang lagi buka buku katalog barang.

Bisa dibilang ini kegiatan normal yang para jomblo lapuk sering lakukan ketika nongkrong di kampus.

Tertarik sama lawan jenis yang style-nya perfect abis emang bisa dibilang sesuatu yang normal. Tapi sebagai kaum cupu, kami cuma bisa tertarik doank tanpa bisa ngomong ke orangnya. Buat sekedar bilang "Hai!" aja mungkin gue bisa ngomong sambil gemeteran.

Gue. Sewaktu nyapa cewek.
Dan kalau secara nggak sengaja gue disapa sama cewek yang "menarik di hati"...

Ekspresi muka gue sehabis disapa sama adik angkatan yang cakep.
Karena nggak pernah berani ngomong langsung ke orangnya, jadi paling ujung-ujungnya cuma bisa dateng ke kost temen. Duduk, nyalain laptop, buka Facebook terus curhat sambil nunjukin profil cewek-cewek cakep yang ditaksir.

       "Ini nih cantik! Tapi kalau pakai jilbab, rambutnya kemana-mana."
       "Ini juga cantik, kalau pakai parfum baunya kayak kembang kantil deket perpus pusat."
       "Ini juga cantik nih, top dah! Masuk list UGM Cantik."

Iya, cuma bisa nunjuk-nunjuk foto di Facebook doank. Warbiasa! Super sekali.

Tapi kalau ngomongin soal seseorang yang berhasil menarik hati, gue nggak bakalan bisa lupa sama cewek yang berhasil membuat gue tertarik untuk pertama kalinya di bangku kuliah. Cantiknya dia, manisnya senyum dia sama sakit yang dia kasih, karena gue yang terlalu cupu buat bisa kenal lebih jauh sama dia sebelum akhirnya dia jadi milik orang lain.

Sebut saja dia si Neng, atau si Neng geulis karena dia orang Sunda.

Gue nggak perlu sebut nama. Buat kalian yang langsung paham, you know me so well lah pokoknya.

Ngomongin soal si Neng berarti kita harus terbang lagi ke masa lalu, masa di mana gue masih terlalu cupu buat jalan sendirian di kampus, masa di mana gue lebih memilih buat nahan kencing biar bisa kencing di rumah daripada harus jalan sendiri menuju kamar mandi kampus.

Makanya, di mana-mana yang namanya mengingat masa lalu itu yang ada cuma ingat sakitnya doank.

...

Gue termasuk salah satu orang yang nggak percaya sama istilah "Cinta pada pandangan pertama", karena semua yang instan itu nggak baik, gampang lembek kayak mie instan yang kelamaan direbus. Dan juga karena gue nggak begitu ingat kapan dan di mana pertama kali gue ketemu si Neng.

Yang gue ingat, kami selalu dipertemukan dalam keadaan yang tidak terduga. Mulai dari tikungan lampu merah K*C depan MIPA selatan, depan pos satpam, di sela-sela pagi gue yang terburu-buru karena terlambat masuk kelas dan bahkan di kerumunan mahasiswa yang penuh berdesakkan karena mau tukeran kelas.

Mungkin beberapa dari kalian bakal ngira kalau itu semua kelihatan so sweet karena kami selalu dipertemukan dalam momen yang tak terduga, tapi kalian salah.


Kami selalu ketemu dalam keadaan yang tidak terduga dan tidak tepat. Karena kami selalu dipertemukan ketika gue sedang dalam keadaan kucel, jelek dan acak-acakan sedangkan dia selalu kelihatan cantik dan manis.

Sebenarnya ini semua nggak ada hubungannya sama situasi, karena emang dari sananya gue udah kucel bawaannya.

...

Masa-masa semester satu, masa di mana gue masih bisa memandang setiap tatapan manis yang dikasih sama si Neng. Tatapan yang sampai sekarang belum bisa gue pecahin misterinya. Misteri Tatapan Si Neng, kurang lebih begitulah judulnya kalau ada yang kurang kerjaan mau mengangkat tulisan ini jadi sebuah sinetron.

Serius, buat seorang cowok item kayak gue, bisa punya pacar ataupun gebetan yang cantik, manis, berjilbab dan berkulit putih itu kayak makan martabak manis coklat keju terus sekarat karena keenakan, begitu bangun di rumah sakit dibawain martabak manis lagi, sekarat lagi dan begitu seterusnya.

Tapi semua berubah semenjak salah satu dari teman gue bilang ,"Do, dia ternyata udah jadian. Sama mas yg itu."

"Oh, yaudah," begitulah kira-kira reaksi gue waktu itu.

Sebetulnya gue pengen lari ke depan kampus dan nyundul gerobak gorengan yang ada di samping kopma sambil teriak "KENAPA!!??", kemudian teriak di muka abang penjualnya "Kenapa, bang? Kenapa abang naruh cabe di tengah risolnya? KENAPA?". Tapi akhirnya gue memilih buat bersikap cool karena warung gorengan samping kopma waktu itu belum buka.

Ada yang berubah semenjak waktu itu. Dulu sewaktu dia masih single, tiap kali lihat dia senyum rasanya kayak makan martabak manis spesial rasa coklat keju. Tapi sekarang, rasanya kayak makan martabak manis coklat keju yang mesesnya pakai meses abal-abal dan banyakan kejunya daripada coklatnya. Abis itu waktu makan masih dibisikin sama abang yang jualan "Tong, inget. Yang elu liat itu pacar orang. Inget, dia udah jadi pacar orang. Nggak enak 'kan rasanya?"

Iya sih, tetap martabak manis. Tapi bagaimanapun juga, rasanya tetap saja beda.

...

Waktu mungkin obat yang paling baik untuk semua luka.

Gue selalu bilang ke teman-teman gue, "Yang namanya perasaan harus diungkapin. Seperti ketika kalian gak sengaja kesetrum terus kalian ngucap 'Anjrit', 'Bajirut' dan lain sebagainya."

Akan tetapi, untuk cerita si Neng kali ini, mungkin gue akan bikin satu pengecualian. Karena ada kalanya sebuah rasa itu tidak harus diungkapkan. Seperti ketika kalian nggak sengaja menginjak tahi ayam. Yang kalian lakukan cuma belagak diam sambil ngusap-usapin kaki ke tanah tanpa harus teriak-teriak "Woi gue nginjek tai ayam woi! Sini bro, groufie dulu sama tai ayam!"

Mungkin, gue cuma perlu menemukan kebahagiaan-kebahagiaan kecil di antara semua barisan cerita ini.

...

Mungkin besok-besok gue juga bakalan cerita (red: curhat) tentang perjalanan cinta gue yang lainnya, biar kalian bisa tahu seberapa fakirkah gue dalam hal percintaan. Yang berakhir penasaran, berakhir dengan keihklasan atau yang sampai sekarang belum jelas gimana akhirnya? Any ideas?