Waktu itu hari ke-3 di bulan Ramadhan. Seperti biasa, aktivitas gue sehabis berbuka puasa adalah tiduran sebentar mencoba ngelurusin perut yang agak sedikit begah akibat terlalu maruk waktu buka puasa.
Jam 18.40 adzan mulai terdengar saling bersahutan dari segala penjuru arah, dan gue pun bergegas ambil air wudlu dan siap-siap berangkat tarawih.
Sebelum berangkat gue dihadapkan oleh sebuah dilema. Stok celana panjang lagi kosong karena dicuci semua dan yang ada tinggal sarung.
Jujur, gue kalau ke masjid jarang pakai sarung. Bisa dibilang ini adalah trauma gara-gara dulu waktu masih kecil, waktu masih agak badung, sarung gue pernah dipelorotin sewaktu tarawih.
Oke, karena yang tersisa tinggal celana panjang training buat olahraga, akhirnya gue terpaksa pakai sarung.
Gue keluarin sepeda onthel tua peninggalan simbah buat transportasi ke masjid. Sebelum berangkat, gue dihadapkan oleh sebuah dilema lagi...
Ini sarungnya harus diangkat "dicincing" apa dibiarin terurai begitu saja waktu naik sepeda?
...
Sesampainya di area parkir masjid, gue parkir sepeda onthel tuanya dan bergegas masuk ke masjid sebelum barisan shaf dua dipenuhin sama anak-anak kecil yang suka lomba kenceng-kencengan bilang amin.
Shalat Isya' berlalu berlanjut ke tarawih, everything's fine, everything's under control. Walaupun tiap abis salam dan berdiri gue selalu nyempetin buat benerin sarung. Karena sarung yang gue pakai waktu itu memang teksturnya agak licin, jadi tiap abis sujud iketan di pinggangnya pasti kendur sedikit demi sedikit.
Dan gue nggak mau ibu-ibu di barisan pertama nanti mendapat pemandangan tak senonoh seandainya sarung gue melorot di tengah-tengah shalat.
Singkat cerita, waktu kultum pun tiba, pak ustadz naik mimbar dan pak imam pun segera menempatkan diri duduk senderan di pinggir tembok tempat imam bersiap liyer-liyer dan tertidur dengan santai.
Salah satu hal yang bisa membuat kita terlihat normal untuk tertidur sewaktu dengerin kultum adalah menjadi tua dan menjadi mahasiswa tingkat akhir yang tiap malam nggak tidur karen ngebut skripsi maupun tugas akhir.
Ustadz menutup kultum dilanjut imam bacain niat puasa, pertanda tarawih malam itu sudah selesai. Disusul pertanda lain yaitu segerombolan bocah yang tiba-tiba jadi anarkis, saling dorong buat masuk masjid sambil ngacung-ngacungin buku tipis yang mereka bawa.
"Woi, jangan dorong-dorong!", sontak anak kecil yang perempuan.
"Woi, datang belakangan bukunya ditaruh paling bawah!", padahal begitu terkumpul semua, tumpukannya dibalik. LOL
"Woi, pinjemin pulpen, ustadznya kagak bawa pulpen!"
"Woi, tadz! Tanda tangan lima kotak sekalian ya?"
"Woi, tadz! Nerima calon mantu yang pas-pasan nggak?"
Teriakan terakhir tadi mungkin adalah teriakan seorang kaum piyambakan yang ingin segera mendapat hidayah.
...
Karena tarawih udah kelar, gue pun bergegas menuju tempat parkiran mengambil sepeda onthel gue. Yang ada di pikiran gue waktu itu adalah pulang cepet dan makan nasi anget pake lele goreng yang tadi sore digoreng ibu. Gue kayuh sepeda onthel gue, melewati beberapa ibu-ibu yang sama-sama baru pulang tarawih.
"Mari, budhe."
Note: sapalah setiap orang yang kalian lewati. Walaupun terkadang orang yang kalian sapa itu malah nggak nanggepin kalian dan lebih milih buat "melengos". Repotnya hidup di desa, disapa malah melengos, giliran nggak disapa marah-marah ngatain kita yang bisu atau apalah.
Lanjut gue kayuh sepeda onthel gue, sampai tiba-tiba terjadilah kejadian memalukan itu.
Karena sarungnya nggak gue angkat waktu naik sepeda, alhasil sarung yang terurai nyangkut di pedal sebelah kiri dan "nyerimpet". Kaki kiri gue terperangkap di pedal, terikat oleh sarung.
Gue panik.
Dan akhirnya "Bruukkk!", gue nubruk bocah yang lagi lari-larian di depan gue. Adik kecil itu jatuh ndeprok di tanah, untung nggak kejatuhan sepeda.
Gue tengok ke belakang, si ibu cuma berdiri melototin gue. Gue berdiriin si adik dan minta maaf kemudian pergi berlalu sambil berkata dalam hati "Besok tarawih tempat lain dulu sementara."
No comments:
Post a Comment