Arus Balik, Tarif Parkir dan Gadget Biadab
Lebaran. Ada banyak hal yang bisa dihubungin sama lebaran. Mulai dari berakhirnya sekuel iklan sirup, arus mudik/balik, baju baru hingga sekumpulan orang yang was-was ketika nanti lebaran ditanya "Udah punya pacar belum?" sama sanak keluarganya.
Tapi percayalah ada satu hal yang selalu dinanti sewaktu lebaran, yaitu duit pesangon (pesangon: biasanya identik dengan uang terakhir yang diberikan sewaktu masa kerja kita habis) lebaran. Entah di tempat kalian disebut apa, tapi di sini gue bakalan nyebut pesangon. Karena siapa tahu itu adalah duit terakhir yang kita terima di waktu lebaran untuk menandai berakhirnya masa jabatan kita sebagai anak kecil. Dan mungkin lebaran berikutnya kita cuma bakalan dapat ucapan 'Yang gede udah nggak dapet ya?' atau malah dapat pertanyaan 'Udah kuliah ya? Kapan lulus? Udah punya pacar?'
Dan gue berani taruhan, kebanyakan dari orang yang dapat pertanyaan kayak gitu jawabnya pasti cuma 'He he he'. Termasuk gue sendiri.
Beda jaman beda pula pesangonnya. Kalau dulu mungkin pakde bude waktu ngasih pesangon bilangnya 'Ini buat beli permen.' sambil nyodorin 10 ribuan. Kalau anak jaman sekarang kayaknya nggak mempan dikasih gombalan "beli permen", mungkin mereka sekarang lebih sering dapat pesangon dengan embel-embel "buat beli pulsa modem atau paket BB.". Dikasih 10 ribu pun masih protes, dengan alasan '10 ribu cuma dapet paket 3 hari bude, yang paket sebulan donk.'
Tapi kali ini kita nggak bakalan ngomongin berapa pesangon yang kalian dapat pada lebaran kali ini. Di kesempatan yang berbahagia ini kalian akan sedikit menyimak cerita absurd yang sekali lagi bakalan tertuang di blog absurd ini.
Hari itu, tiga hari berselang setelah lebaran, tepatnya hari Kamis. Hari itu malamnya gue berencana buat ke Gramedia, rencana mau ngecheck tarif parkir di sana karena dengar-dengar karena efek lebaran beberapa lokasi di Jogja tarif parkirnya jadi kayak setan.
Setelah Maghrib gue siap-siap berangkat, sebelum berangkat ibu sempat ngingetin kalau jalan Jogja-Solo di depan masih ramai dan macet. Yang namanya anak muda pasti kalau dibilangin orang tua pasti ada ngeyelnya sedikit, gue bilang sama ibu 'Ah, itu kan tadi siang, bu. Kalau malem paling udah agak mendingan.'
'Kampret!', itu yang gue ucapin begitu sampai di pinggir jalan Jogja-Solo. Ternyata masih ramai, susah banget mau nyeberang jalan.
Empat kilometer ke barat masih bisa dibilang ramai lancar, begitu kilometer kelima sampai kawasan bandara Adi Sutjipto itu udah bisa dibilang padat merayap kayak antrian jomblo yang mau minta kepastian sama gebetan mereka.
Jarak rumah-gramedia yang biasanya bisa ditempuh 30 menit, malam itu ternyata butuh waktu 45 menit, sedikit molor 15 menit. Disebabkan oleh beberapa mobil yang kurang bisa baca tanda "Lurus Jalan Terus".
Begitu masuk parkir lower ground, hal yang pertama kali gue lakuin adalah tanya sama bapak yang tugas mencatat nomor parkir, 'Pak, tarif parkirnya masih normal kan?'. Bapak petugas tersebut terdiam dan menatap gue dengan mata yang nanar, badannya bergetar hebat, bibirnya membiru dan mengeluarkan sepatah kata 'Iya, mas. I heart you.'
Gue berlalu sambil bergidik.
Setelah memarkir motor dan nitipin tas, gue masuk ke dalam langsung naik ke lantai 3. Langsung menuju pusat berkumpulnya jomblo buluk keren yang belum menemukan jodohnya di tempat tersebut.
Setelah mengambil satu komik One Piece dan satu novelnya eyang Agatha Christie, singkat cerita gue nongkrong di deretan buku "keterampilan". Deretan buku yang isinya tentang musik, fotografi, menggambar dan buku-buku hijab. Sambil berharap bisa ketemu mbak-mbak cantik yang biasa kelihatan di acara panduan berhijab di TV. Huehehe
Gue berdiri sekitar 15 menit, membaca buku tentang fotografi. Berharap nemuin artikel yang bisa membantu gue biar kelihatan cakep kalau diajak foto selfie. Deretan buku keterampilan bisa dibilang sepi, jarang banget ada orang yang seliweran di situ. Bisa jadi spot yang enak buat mereka yang doyan ngupil.
Beberapa menit kemudian datang anak kecil di samping gue. Kira-kira umur lima tahun, seumuran anak playgroup lah. Dengan badan kecilnya dia nyari buku di deretan bawah rak, dia ngambil satu buku. Buku tentang bagaimana cara menggambar manga dengan baik. Ya mungkin dia cuma mau lihat gambar-gambar tokoh anime yang ada di dalamnya.
Kemudian terlintas di pikiran gue buat ngajakin ngobrol anak tersebut. Perlu dicatet, gue bukan pedofil, gue juga belum pernah punya pengalaman jadi guru mengajar di sekolah internasional. Yang terlintas di pikiran gue mungkin "Ah, besok gue kan juga bakalan jadi bapak. Apa salahnya mulai sekarang belajar akrab sama anak kecil."
Visioner banget kan? Bapak-able banget kan? Tapi sayang sampai sekarang masih jomblo.
Singkat cerita gue deketin anak itu, gue jongkok di dekat dia sambil berharap semoga dia nggak berak di celana sewaktu gue sapa.
Akhirnya gue sapa dia, 'Adik, lagi baca apa?'. Dia diem, mungkin dia grogi gara-gara disapa cowok berkulit gelap. Dia diem dan gue nggak dipeduliin. Heran, nggak itu anak kecil, nggak itu yang udah gede, gue selalu nggak dipeduliin sama cewek. Kasihan banget.
Karena dia sendirian akhirnya gue tanya dia ke toko buku sama siapa. 'Sama mama.', dia jawab sambil tetap nonton gambar yang ada di buku.
'Loh, emang sekarang mamanya lagi dimana?', gue tanya ke dia.
'Itu.', dia nunjuk ke arah ibu-ibu muda di seberang rak buku.
Hal yang pertama kali gue perhatiin dari ibu tersebut adalah dia lagi mainan tablet. Tablet di sini maksudnya tablet PC, bukan tablet obat pusing. Ternyata yang doyan mainan tablet bukan cuma anak SD yang terobsesi sama Pou, ibu-ibu paruh baya juga nggak mau kalah. Gue lihatin dia nyocol-nyocol tablet sambil senyum-senyum sendiri kayak anak ABG yang baru dapet gebetan lewat BBM.
Sebenarnya gue nggak begitu mempermasalahkan si ibu tersebut mau mainan tablet atau mainan yang lain. Tapi alangkah baiknya beliau lebih memprioritaskan mengawasi anaknya yang masih kecil ketimbang mainan tablet.
Flashback beberapa bulan ke belakang, gue nemuin kejadian yang hampir sama di tempat yang sama. Waktu itu malam Minggu, seperti biasa gue numpang baca buku gratis di Gramedia Jln. Sudirman, Yogyakarta. Di lantai tiga di dekat tumpukan komik new arrival ada anak kecil sekitar umur sekitar 3 tahun lagi manjat-manjat pagar pembatas tangga. Serius, itu semisal di jatuh ke depan dia bakalan langsung jatuh ke lantai di bawahnya.
Gue yang kebetulan ada di dekat anak tersebut, cuma sekitar 3 meter di belakang dia, ngerasa merinding kalau ngebayangin anak tersebut jatuh ke bawah. Gue mau nyamperin dia, mau ngebilangin biar nggak manjat pagar, tapi takutnya dia nanti malah kaget terus jatuh.
Sambil memperhatikan anak tersebut gue mikir "Ini yang punya anak kemana sih?"
Singkat cerita, ternyata si empunya anak ada di tumpukan buku best-seller, sekitar 5 meter jauhnya dari tempat bocah tersebut berada. Uniknya, si ibu cuma bilang "Eh adik, jangan manjat-manjat. Ayo turun.", sambil mainan gadget touchscreen yang dia pegang. What the hell, ma'am? Really?
Nggak heran kalau sering ada kasus anak kejepit di eskalator, kasus bocah hilang di mall, kasus bocah jatuh dari lantai atas sebuah mall. Mungkin kelakuan ibu-ibu penggila gadget seperti itulah yang jadi penyebabnya.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 20.34 malam itu, dan sudah bisa terdengar pengumuman bahwa toko buku Gramedia akan segera tutup. Gue segera beranjak pergi ninggalin adik kecil yang masih sibuk membolak-balik buku yang sedang dia pegang. Gue beranjak pergi dengan sesuatu yang masih mengganjal di hati. Gue coba ingat-ingat lagi tentang hal yang mengganjal itu.
Ah, ternyata gue lupa mau tanya sama adik kecil yang tadi "Punya kakak perempuan yang cantik plus single nggak?"
Ah, sudahlah.
No comments:
Post a Comment