Kali ini aku mau sedikit repost tentang sebuah cerita yang sempet aku baca di sebuah buku yang kalau nggak salah judulnya “Kisah Bill Gates & Lima Ekor Monyet”. Ceritanya simple tapi punya makna yang nggak simple.
Di buku itu diceritain tentang seorang raja & perdana menterinya. Si raja heran banget kenapa si perdana menteri punya sifat positif thinking yang nggak ada habisnya. Diem-diem si raja mulai ngerasa dongkol sama sifat perdana menterinya. Suatu hari si raja ngajak perdana menterinya ke hutan buat berburu hewan. Di tengah jalan gigi si raja ada yang copot, dan si perdana menteri tiba-tiba ngomong, “Wah, selamat paduka! Gigi Anda yang copot itu pasti akan membawa berkah untuk paduka.”. Si raja yang bener-bener dongkol langsung ngiket si perdana menteri terus si perdana menteri dimasukkin ke sebuah sumur. Kemudian si raja pergi ninggalin perdana menterinya di sumur.
Di tengah perjalanan si raja tiba-tiba dicegat sama sekumpulan orang dari suku pedalaman, si raja langsung diiket terus dibawa ke desa. Mereka bilang kalau si raja mau dijadiin korban persembahan buat Dewa Api. Si raja yang udah diiket kayak babi guling langsung dibawa ke puncak gunung berapi buat dimasukkin ke kawah gunung buat persembahan. Pas udah hampir dicemplungin si kepala suku tiba-tiba ngomong, “Tunggu, kita tidak bisa menjadikan orang ini sebagai persembahan. Dewa api tidak mau menerima orang yang anggota tubuhnya tidak lengkap!”. Si raja langsung sadar tentang giginya yang tadi copot. Orang-orang suku pedalaman langsung nglepasin si raja
Abis UTS langsung ada tugas kelompok Pancasila buat bikin paper sama presentasi. Tiap kelompok disuruh nentuin tema buat dibahas. Waktu itu aku ngusulin tentang kontroversi pemberian gelar pahlawan nasional 10 November kemarin, ada temen yang ngusulin tentang kedudukan TAP MPR yang disejajarin sama UUD, terus Bang Alex (bukan nama sebenarnya, sorry ya bang) bilang soal fenomena di Indonesia, yaitu “DERAJATISME”.
Oke, kita bakalan ngomongin sedikit tentang apa itu fenomena “Derajatisme”. Diliat dari namanya mungkin udah keliatan kalo ini ngomongin tentang derajat. Sekarang di Indonesia emang sering muncul kejadian-kejadian yang ada kaitannya sama derajat. Kalo dulu paling sering dibanding-bandingin antara maling ayam yang dipenjara paling nggak 3 tahun sama para koruptor kampret yang udah MALING duit rakyat banyak banget tapi cuma dikasih hukuman nggak nyampe setahun *sialan*.
Derajat emang nggak bisa jauh sama yang namanya DUIT. Duit itu bapaknya derajat, kalo nggak ada duit nggak bakalan ada derajat #heran. Pernah liat berita tentang napi cewek yang ruang penjaranya kayak hotel bintang lima (gilaaak, kamar gue aja bisa kalah ama penjara). Padahal nggak jauh dari situ, masih satu LP, ruangan napi lain itu cuma ruangan gelap kecil yang juga dijadiin tempat njemur baju sama napi-napinya (kreatif itu napi, sambil dipenjara njemur kolor). Fakta, yang punya duit walaupun udah di penjara tetep nggak mau disamain derajatnya sama napi-napi lain. “Gue berduit coy, walaupun gue dipenjara tetep donk harus nunjukkin derajat gue”. Emang nggak ada abisnya kalo ngomongin orang-orang atas yang udah kemakan sama duit mereka sendiri.
Pernah denger statement “Orang Miskin Dilarang Pintar, Orang Miskin Dilarang Berkarya”? WTF!! Statement gila! Kalo di kimia ini kayak Hukum Markovnikov “yang kaya diperkaya, yang miskin dipermiskin”. Yang bener itu “Yang Berkuasa Dilarang Semena-mena”. Pernah denger tentang bantuan buat orang-orang kurang mampu dari pemerintah yang namanya BLT? Dulu waktu realisasinya banyak orang-orang kurang mampu yang nggak kesentuh BLT sama sekali, malahan mereka-mereka yang bisa dibilang berkecukupan malah dapet jatah BLT.
Intinya hampir sama ama posting sebelumnya, di mata Yang Maha Kuasa semua manusia itu derajatnya sama. Jangan bersikap nggak adil, semua orang berhak dapet keadilan. Manusia itu makhluk sosial, nggak mungkin orang kaya bisa hidup tanpa orang-orang kecil. Membaurlah jangan memandang siapa mereka dan seberapa tinggi derajat mereka. Share the world!!
Dendam… Amarah… Kecewa… dan beberapa ungkapan hati yang muncul sewaktu kita sedang dalam “fase negatif”. Ketika kita merasakan itu mungkin hati kita ingin menjerit sekencang-kencangnya, atau tangan kita ingin memukul sesuatu sekeras-kerasnya dengan maksud ingin meluapkan kekesalan yang kita rasakan. Akan terasa sangat “mengganjal” jika kekesalan itu tidak dapat kita luapkan. Kekesalan itu bisa saja menjadi sebuah energi negatif dalam diri kita. Bisa jadi itu akan menimbulkan stress, hilangnya nafsu makan, kendurnya semangat, dll.
Tapi tahukah kalian, itu semua nggak bakalan kejadian kalau kita punya apa itu yang disebut “HATI YANG BESAR atau BESAR HATI”. Kita ambil realisasi kecilnya, anggap saja semua fase negatif itu sebagai rasa pahit dari jamu yang super pahit, hati yang kecil kita ibaratkan sebagai gelas kecil yang berisi air, sedangkan hati yang BESAR kita ibaratkan sebuah danau.
Jika kita mengambil satu sendok makan jamu itu lalu kita masukkan ke gelas kecil yang berisi air tadi, apa yang terjadi? Bagaimana rasa air di gelas tersebut? Pasti akan terasa pahit, itulah hati kecil yang menerima rasa negatif yang begitu pahit. Hati kecil itu akan berlarut-larut dalam kepahitan itu. Lalu apa yang terjadi jika sesendok jamu pahit tadi kita larutkan di sebuah danau yang begitu luas? Apakah juga akan terasa begitu pahit seperti di gelas kecil tadi? Of course not! Rasa pahit itu akan larut di luasnya danau dan seakan menghilang.
Di sini kita belajar untuk berbesar hati dalam setiap masalah agar masalah itu tidak menjadi energi negatif dalam diri kita. Berbesar hati bukan berarti kita cuek dan tidak peduli terhadap masalah kita, tengoklah sebentar apa biang masalah itu dan belajarlah dari kesalahan itu agar kelak kita tidak mengulanginya lagi.
So guys, mari membesarkan hati dan membesarkan diri untuk setiap masalah yang kita hadapi. Jangan berkata “GOD, I have a big problem” but let say “Hi problem, I have a big GOD!”
Pahlawan? A super hero? Batman, Superman, Wolverine? U can call them superhero, but we won’t talk about them. 10 November di Indonesia diperingatin sebagai hari pahlawan, dan kebetulan 10 November 2011 ini pemerintah Indonesia ngasih gelar pahlawan buat beberapa orang warganya. Tapi dimana kesan pahlawan itu? Maaf, dari sekian banyak pahlawan yang istilahnya dilantik tanggal 10 November 2011 ini aku kurang bisa ngerasain atmosfer kepahlawanan di negeri ini kalau ngeliat orang-orang atas yang kebanyakan pada cacat hukum.
Mungkin kita perlu jauh-jauh nengok ke atas buat nyari arti kepahlawanan itu. Ada banyak pahlawan di negeri kita, the real superhero! Mereka nggak pernah mikul senjata di medan perang, tapi mereka pahlawan.
Pernah denger tentang cerita seorang kakek yang ikhlas ngejual sepeda butut yang biasa dipake buat keliling jualan demi istrinya yang sedih gara-gara mesin jahitnya rusak? Si kakek ikhlas ngejual sepedanya buat ngebetulin mesin jahit si nenek biar si nenek bisa seneng. “Ni, ini aki ada uang sedikit buat ngebetulin mesin jahit nini biar nini bisa njahit lagi buat nambahin penghasilan”, kata si kakek. “Makasih ki, tapi aki dapet uang dari mana? Terus sepedanya aki kemanain?”, tanya si nenek bingung. “Udah nggak apa-apa, ntar aki nyoba usaha lain.”, jawab si kakek penuh keikhlasan.
Can u see the moral value from the story? Sungguh mulia apa yang dilakukan si kakek, beliau berkorban demi orang yang beliau cintai. Tanpa harus angkat senjata, beliau udah jadi pahlawan buat istrinya tercinta. Jadilah pahlawan buat diri kalian juga buat orang-orang yang kalian sayangi. Ikhlaslah dalam setiap perbuatanmu, bantulah orang-orang yang kalian sayangi tanpa harus mengingat-ingat apa yang sudah kalian korbankan untuk mereka, bantulah mereka tanpa pamrih.
Lihatlah ibu kita, apa beliau pernah berkata “Nak, ini daftar kebaikan ibu dan ini biaya yang harus kalian bayar nanti.”, itu mustahil. Beliau selalu ikhlas dalam setiap kasih sayang yang ia berikan pada kita, orang yang beliau cintai. Kita justru sering lupa tentang betapa besar pengorbanannya. My mom, MY HERO! I love you mom. ♥