"Banyak garam dong di sana?"
"Rif, udah bisa ngomong bahasa madura belum?"
"Makan sate terus dong lu di sana"
"Udah bisa ngomong sama sapi belum?"
Ya, kira-kira begitulah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh teman-teman sewaktu mereka tahu bahwa saya sekarang merantau di Madura.
Pertengahan Desember 2017, kali pertama saya melangkah menginjakkan kaki di bumi karapan sapi ini. Berangkat dari Taspen Surabaya dengan mengendarai sepeda motor.
Waktu itu saya sangat antusias karena saya akan melewati Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Madura. Saking antusiasnya, waktu itu saya sampai mengeluarkan handphone untuk merekam suasana ketika saya menyeberangi jembatan. Ngeri-ngeri sedap, anginnya beneran kayak lagi di tengah laut.
Lah emang di tengah laut.
Suramadu pada malam hari (src: google images) |
Sebuah pemandangan yang sangat berbeda. Jika suatu saat kalian berkesempatan menyeberangi Jembatan Suramadu, coba bandingkan pemandangan antara kota Surabaya dan pulau Madura, terutama di malam hari. Jika kalian bertolak dari Surabaya ke Madura, sewaktu melihat ke utara, yang kalian lihat hanyalah suasana gelap dengan beberapa lampu yang menerangi. Sebaliknya, jika kalian bertolak dari Madura ke Surabaya, yang kalian lihat adalah gedung-gedung pencakar langit dengan gemerlap lampu layaknya ibukota Jakarta.
Di kesempatan yang serba dibatasi ini, saya ingin berbagi sedikit cerita, sebagai seorang tuna asmara yang sudah 3 kali menjalani bulan Ramadhan dan (hampir) 1 kali lebaran di Madura.
Ngomongin soal Madura, tidak akan lepas dari yang namanya Karapan Sapi. Tapi jujur, sampai detik ini saya sendiri malah belum pernah menyaksikan secara langsung sebuah pertunjukan karapan sapi. Kalau nggak pas mudik ya ketiduran di kos.
-
Ketika kalian melewati Jembatan Suramadu, yang akan kalian lihat adalah wilayah Kabupaten Bangkalan.
Pulau Madura (src: www.eastjava.com) |
Pulau Madura terbagi menjadi 4 kabupaten. Dimulai dari sebelah barat, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep di ujung sebelah timur dengan beberapa pulaunya.
Untuk kalian yang ngiler pengen nyobain Bebek Sinjay, Bangkalan adalah pusatnya. Walaupun ada banyak cabang di luar Madura, tapi menurut hasil wawancara saya, Bebek Sinjay di Bangkalanlah yang paling juara.
Tahan, brooooo (src: IDN Times) |
Dan di Bangkalan ini jugalah terdapat satu-satunya Mall Matahari di Pulau Madura. The one and only.
Perjalanan dari pintu keluar jembatan Suramadu menuju Kabupaten Pamekasan tempat saya bekerja memakan waktu kurang lebih 2,5 jam apabila lancar.
Mengapa di sini saya katakan "apabila lancar"?
Berkunjunglah ke Madura, maka kalian akan tahu fenomena pasar tumpah yang bisa memblokade jalan nasional dan membuat pening kepala. Dua setengah tahun di sini dan alhamdulillah sekarang saya sudah hafal hari jadwal pasaran di Madura.
Sepanjang perjalanan kalian akan menemui bapak-bapak, mas-mas atau bahkan anak-anak yang naik sepeda motor mengenakan sarung dan peci (tanpa helm). Sebuah pemandangan yang agak ganjil apabila kalian baru pertama kali datang ke sini, tapi ini benar adanya, sekalipun kalian sedang berada di jalan nasional yang notabene sering dilewati bus dan truk besar.
Jadi, kalau ada yang bikin meme mengenai role hero di Mobile Legend ataupun Dota2 dan orang Madura disebut sebagai Tanker, mungkin itu ada benarnya juga.
Kabupaten setelah Bangkalan adalah Sampang. Dengan slogannya Sampang Bahari, yang kadang diplesetkan menjadi Sampang Banjir Berhari-hari.
Sudah menjadi sebuah fakta bahwa Kabupaten Sampang adalah langganan banjir karena letak geografisnya yang lebih rendah daripada permukaan laut. Bahkan saya pernah mendengar cerita, pada suatu waktu Sampang dilanda banjir dan tingginya hampir setinggi rumah, dan menyebabkan lumpuhnya transportasi bus karena tidak bisa melewati Sampang.
Buat yang udah pernah denger lagu "Sampang Banjir Pole" dari mas-mas jamet kuproy, sekarang paham kan kenapa di situ nyebut-nyebut "Sampang Banjir"?
Tapi beberapa tindakan pencegahan sudah dilakukan oleh Pemkab Sampang dengan membangun pembatas berukuran tinggi di sepanjang bantaran sungai yang melewati wilayah Sampang Kota.
Di sepanjang jalan dari Sampang menuju Pamekasan kalian akan menemui beberapa rumah makan yang dibangun di pinggir pantai. Mereka membangung rumah makannya sedemikian rupa sehingga para pengunjung bisa menikmati makanan sembari menikmati hembusan angin laut.
Salah satu rumah makan pinggir laut yang terkenal di Sampang (src: www.dakatour.com) |
Untuk kalian yang berjiwa sore (anak senja dan anak indie), sempatkanlah mampir di deretan rumah makan ini untuk menyesap kopi kalian sembari melihat senja dan mendengarkan lagu yang hanya bisa dinikmati oleh kaum kalian. NEXT!
Di perbatasan Sampang dan Pamekasan kalian akan menemui sebuah pasar ikan, yang menjajakan ikan-ikan segar hasil tangkapan nelayan. Jangan lewat daerah ini sewaktu sore ataupun petang, karena kalian sudah pasti akan terjebak di lalu-lalang kendaraan maupun orang yang berbelanja ikan.
Berikutnya adalah Kabupaten Pamekasan, tempat di mana saya menghabiskan 2,5 tahun hidup saya sebagai perantau yang mencoba belajar bahasa Madura, tapi sampai sekarang hanya bisa menjadi pengguna bahasa Madura pasif. Da'ramma cong? Payah.
Di Pamekasan inilah saya mengenal sedikit budaya yang dinamakan makanan berlemak dan keras, yang disebut kaldu kokot. Masakan olahan tulang sapi dan sumsumnya, dimasakan dengan kuah yang penuh dengan lemak. Yang dengan memandangnya saja Anda pasti langsung merasakan kolesterol otomatis naik setelah makan ini.
Kaldu kokot yang jahanam kolesterolnya (src: www.merahputih.com) |
Selain kaldu kokot, ada juga yang namanya Campur Lorjuk. Sebuah olahan makanan dengan bahan utama kerang bambu, diolah sedemikian rupa menyerupai soto namun bukan soto.
Buat yang udah nonton film "Aruna dan Lidahnya" pasti tahu, karena salah satu setting yang diambil dalam film ini adalah warung Campur Lorjuk yang terletak di Pamekasan. Serius, enak banget!
Campur Lorjuk, kalau ini saya doyan (src: www.merdeka.com) |
Meskipun Madura terkenal dengan satenya, ternyata ada satu makanan daerah lain yang juga mendominasi di sini, yaitu pecel.
Di Pamekasan sendiri kalian akan menemukan warung pecel hampir di setiap sudut. Bahkan ada satu warung dengan brand "Warung Pecel Blitar Bersaudara" dengan nomor di akhir namanya, Bersaudara 1, Bersaudara 2, dan seterusnya.
Untuk penyuka durian, di Pamekasan terdapat satu daerah penghasil durian yang manis. Walaupun ukurannya kecil tetapi rasanya ciamik. Durian Pamekasanlah yang bisa merubah lidah saya yang semula benci durian menjadi suka. Ya karena sempat dipaksa Mas Zul atasan saya juga sih waktu itu, tapi berawal dari paksaan itulah saya menemukan sebuah keniqmatan.
Wabup Pamekasan tengah berada di acara Festival Durian 2020 (src: suara indonesia.co.id) |
Beranjak ke wilayah paling timur Pulau Madura, yaitu Sumenep. Kabupaten yang katanya ceweknya cantik-cantik karena ada keturunan keratonnya. Tapi, secantik apapun wanita di sini, saya tetap saja tidak pernah berani macam-macam, salah godain punya orang bisa tiwas ente di sini.
Sumenep merupakan daerah yang memiliki gugusan kepulauan dalam wilayahnya. Jika kalian membuka Google Maps, kalian akan menjumpai Pulau Kangean yang letaknya hampir di atas Pulau Lombok, dan itu ternyata masih masuk ke wilayah Kabupaten Sumenep. Diperlukan waktu 4 jam untuk berkunjung ke sana menggunakan kapal ekspres, dan 10 jam apabila menggunakan yang bukan ekspres (tolong dikoreksi jika saya salah).
Jika di Pamekasan tadi ada durian, maka di Sumenep juga ada buah khas, yaitu melon Kangean. Melon dengan citarasa yang benar-benar harum dan manis. Yang bisa membuat kalian tidak rela membaginya dengan orang lain. Datanglah ke Sumenep pada kisaran bulan Agustus-September jika kalian ingin merasakan kenikmatan melon yang tiada tara.
Benar adanya bahwa Sumenep memiliki keraton. Festival keraton 2018 kemarin saja digelar di Sumenep. Pernah ada yang bilang juga, semakin ke timur bahasa Maduranya akan semakin halus.
Panggung acara Festival Keraton 2018 di depan Masjid Agung Sumenep (src: archipelagos.id) |
Untuk yang suka nongkrong makan mie, di Sumenep terdapat satu-satunya Warunk Upnormal di Madura. Jadi, bayangkan saja ketika saya ngiler kepingin makan di Upnormal, saya harus menempuh perjalanan 1 jam menggunakan mobil ke Sumenep.
-
Terlepas dari berbagai stereotype orang mengenai masyarakat Madura. Ada yang bilang sangar lah, keras lah, atau seram lah, masyarakat Madura yang selama dua setengah tahun ini saya kenal adalah orang-orang yang baik. Di mana langit dijunjung, di situ bumi dipijak, bersikap baiklah maka kalian akan dibalas dengan kebaikan yang lebih oleh orang Madura.
Jika kalian punya istilah Crazy Rich bla bla bla, maka di Madura juga ada. Dan lucunya, mereka tidak nampak seperti orang kaya, namun jangan ditanya, sekalinya datang ke ATM setor tunai, bisa dibikin nunggu lama kita karena saking banyaknya duit yang disetor.
Sebuah fenomena yang unik. Jika di daerah lain ATM sering error karena tidak ada uangnya, maka di Madura ATM akan error karena duitnya sudah penuh. Memang sultan.
Pernah suatu ketika saya masuk ke gallery ATM, dari segitu banyaknya yang antre cuma saya yang mau tarik tunai, yang lain pada mau setor. :(
Ah iya, dua setengah tahun di sini saya jarang banget malah hampir tidak pernah mendengar orang berbicara menggunakan kata "tak iye" seperti yang sering diucapkan pelawak Kadir. Jadi, itu mungkin hanya gimmick semata.
Sekian sebuah cerita singkat mengenai dinamika Madura (udah kayak tagline radio lokal Pamekasan) dari mata seorang tuna asmara.
Untuk versi lucu dan singkatnya bisa dilihat di IG-TV saya. Mator sakalangkong, bos!
Hujan gerimis di malam Minggu.
Mereka bilang, hujan di malam Minggu akan mematahkan semangat kaum berpacar untuk keluar jalan-jalan. Dan berhubung aku adalah salah satu penganut faham LDR, maka statement itu tidak berlaku padaku.
Dengan bermodalkan jaket tebal dan jiwa fakir wifi, malam itu aku berangkat menuju ke sebuah hotspot area di sekitar kawasan candi.
Sesampainya di sana, langsung terpampang pemandangan yang tidak mengenakkan, dari parkiran bisa terlihat satu dua pasang orang pacaran.
Yang beranggapan kaum berpacar nggak bakal keluar pas hujan, kalian salah. Mereka ngumpul di hotspot area.
"Voucher satu, pak", ucapku ke pak satpam yang sedang duduk menahan kantuk dengan secangkir kopi di tangan.
Aku beranjak masuk ke area nongkrong, tepat satu meja di depan orang pacaran tadi.
Kubuka laptopku, dan mulai kujelajahi Youtube, Steam dan situs-situs penyedia film bajakan yang sudah tidak menjadi rahasia umum lagi.
Semua berjalan lancar, beberapa film sudah kudapatkan, mulai dari kualitas HD-rip hingga Blueray.
Sampai akhirnya kenikmatan yang terbilang hakiki itu terganggu oleh dua sejoli yang sedang duduk di depanku mulai meributkan sesuatu, yaitu "mouse-nya rusak"
Well, technically itu touchpad, bukan mouse.
Karena berisik banget dan si cowok juga kayaknya cuma bisa dlongap-dlongop ga tau apa-apa, akhirnya kuhampiri mereka yang duduk tepat di depanku.
"Kenapa mas?" tanyaku pada si pejantan.
"Ini mas, mouse-nya kok ga bisa gerak ya? Padahal tadi bisa, normal"
Kulihat dengan seksama, kupencet-pencet bagian left-click, hasilnya nihil. Sampai akhirnya aku tersadar mungkin function button yang biasa digunakan untuk mendisable touchpad tidak sengaja mereka tekan.
Tapi ternyata otak jahilku tidak mau semudah itu membantu mereka.
Kubuka command prompt di laptop mereka. Kucoba semua perintah command prompt yang dengan susah payah kuingat dari mata kuliah praktikum Utility semasa kuliah dulu.
Mereka berdua terdiam, seakan-akan sedang melihat seorang hacker yang sedang menatap layar hitam layaknya film Matrix yang mereka tonton di TV.
Sekitar 3 menit kuotak-atik laptop mereka denga command prompt abal-abal, sampai akhirnya kutekan tombol FN+F10 untuk mengembalikan touchpad mereka.
Dan voila! Normal seperti sediakala.
Mereka berdua mengucapkan terima kasih, dan akupun berlalu meninggalkan mereka berdua.
Meninggalkan sosok si pejantan yang masih terpana kebingungan seolah-olah bertanya "Anjir, Lu apain tadi kok bisa normal lagi mouse-nya?"
"Mas, turun portable biologi", ucap gue ke mas pramugara Trans Jogja yang gue naiki.
Di bawah gerimis kota Jogja, petang itu gue melangkah dari belakang fakultas biologi menuju kos Jisung. Sesampainya di kos, gue disambut oleh orang-orang yang ada di dalamnya dengan "Halo! Bocah pengundang hujan sudah datang. Ayo, Do! Serverin main dota."
Semacam sudah menjadi pertanda ketika gue datang atau pergi dari kos Jisung pasti sambil ngundang hujan. Dan semacam sudah menjadi agenda juga bagi kami ketika Jumat malam tiba kami nginep di kos Jisung, kemudian Sabtu pagi kami jogging di GSP.
Seperti biasa kami berempat; Jisung, Ucil, Said dan gue mencoba membuat diri kami senyaman mungkin di kamar kos yang selalu terasa seperti sauna ketika kipas anginnya dimatiin itu.
Malam semakin larut dan jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ucil dan Said masih berkutat dengan gamepad dan skor mereka yang masih 0-0, sementara Jisung udah rebahan di atas kasur setelah jagoannya, MU harus kalah dari jagoan gue, PSG.
Gue yang lagi liyer-liyer di atas kasur sambil nutupin mata pakai tangan tiba-tiba ditabok Jisung.
"Do, cantik ga? Manteb nih", ternyata Jisung lagi mainan aplikasi Tinder.
Gue perhatiin fotonya, "Iya nih, mantab. Coba geser liat fotonya dia yang lain"
Setelah ditap ke samping, tampaklah lembah kematian yang ada di salah satu novel Sherlock Holmes.
"Edyaaaan, belahannya kemana-mana", komentar gue setelah ngeliat foto cewek yang tadi versi tanktop sama hotpant.
"Huehehehe", Jisung langsung ketawa ngekek.
Sementar Ucil yang lagi main PES cuma bisa tanya, "Hoi, pada liat apaan he?"
Karena penasaran, gue akhirnya ikut-ikutan mantengin hapenya Jisung.
Dan beberapa menit ke depan gue jadi semacam penasihat buat Jisung. Waktu gue bilang "Yes", Jisung bakal nge-like, kalau gue bilang "Nope" dia bakal tap ganti cari yang lain.
Ada kalanya gue bilang "Nope" tapi Jisung bilang "Yes", di sini Jisung bakal buka profil cewek tersebut kemudian liat-liat fotonya satu persatu sampai akhirnya dia bilang...
"Ah iya, Do. Ternyata nope"
Malam itu gue nemuin banyak tipe cewek. Mulai dari yang mukanya putih tapi mengkilat kayak abis diolesin minyak, terus ada cewek yang doyan foto close up sambil mamerin kornea matanya yang gede kayak boneka barbie, kemudian ada yang doyan foto sambil nyetir di mobil dan yang terakhir foto sambil pegang barang-barang endorse.
Karena bosan liat cewek-cewek cakep tapi udah ada supirnya, akhirnya gue tinggalin Jisung yang masih mainan Tinder, gue gantian ngeliatin Said sama Ucil yang ternyata rematch setelah City kalah dari Bayern Munich.
Selang beberapa menit, Jisung manggil gue lagi, "Do, kali ini bener-bener mantab. Pas nih"
Gue perhatiin fotonya, cewek berhijab, mukanya kalem, gayanya juga oke macam mbak-mbak mapan yang udah siap dilamar.
"Ada id LINE sama instagramnya juga nih", ucap Jisung.
Dan emang bener, ada id LINE di biodatanya si doi.
Tapi, waktu gue perhatiin di bawahnya si doi nyantumin tulisan "Just for business. Bukan buat kenalan."
Diulang sampai tiga kali.
"Sung, baca tuh. Cuma buat yang mau bisnis", ucap gue ke Jisung.
"Lah, iya ternyata. Terus gimana nih, Do?", tanya Jisung ke gue.
"Ga liat itu? Ampe diulang 3x begitu, paling kalau kamu ngechat dikirain mau endorse barang", balas gue.
Emang miris, dulu kalau nemu instagram atau twitter cewek cantik, skenario terburuknya adalah si doi nulis akun cowoknya terus ditambahin lambang love di bionya.
Tapi semua berubah semenjak harga parfum dan paketan internet naik, juga semenjak endorse jadi tren di kalangan pengguna instagram.
Sering kita lihat wanita-wanita cantik naruh id LINE, path atau bahkan whatsapp di bio instagram mereka. Tapi setelah itu ada embel-embel "Endorse only, bla bla bla"
Please, jangan mencoba nyari id LINE atau instagram di atas. You boys deserve more than that.
...
Sebulan berlalu setelah peristiwa cewek endorse, entah waktu itu hari apa, gue mampir ke kos Jisung. Gue yang lagi makan ayam penyet di depan TV tiba-tiba ditanyain, "Unsoed daerah mana, Do?"
Gue jawab aja, "Purwokerto, emang kenapa?"
"Dapet kenalan dari Tinder nih, anak Unsoed", balas Jisung.
"Udah kenalan? Mana? Coba liat", tanya gue ke Jisung.
Kemudian Jisung nunjukin chat dia sama si doi. Awal yang bagus untuk memulai sebuah PDKT.
Jisung: "Halo"
Cewek: "Haii"
Kemudian gue dikasih liat profilnya doi. Berhubung Tindernya disambungin ke instagram, jadi gue bisa liat foto-fotonya si doi yang ada di instagram.
Si doi manis, berhijab, jago nyanyi kalau gue liat dari fotonya doi yang banyak foto sambil pegang gitar.
Kalau gue pembawa acara Mancing Mania, mungkin gue bakalan nyebut ini "strike".
Gue tipikal cowok yang bakalan ikut seneng kalau ada temen yang seneng. Sama halnya ketika gue tau kalau Jisung udah naikin level PDKT-nya ke level "chatting via LINE"
Ngeliat temen gue yang dulu pernah patah hati, sekarang udah lumayan terhibur setelah nemu seseorang yang baru.
Walaupun beberapa minggu kemudian Jisung cerita kalau si doi udah ga bales chat dia. Dan Ucil juga udah mulai nakut-nakutin dengan ocehan "Udah punya pacar, bro" atau "Besok dibales kok, tapi balesnya sambil bilang 'maaf kak, kemarin hapenya lagi dipinjem pacar' Huahahaha"
"Pastiin aja dulu. Ga usah takut buat tanya single atau taken", ucap gue ke Jisung.
Mari doakan Jisung semoga dia bisa keluar dari brother-zone.
Ah iya, id LINE gue bukan @arifdopratama, gue bukan orang yang simple minded yang bisa dengan mudah bikin id LINE yang sama dengan sosial media yang lain. *melipir*
"Do, lihat nih!"
Sebuah ucapan yang menghentikan langkah suntuk gue siang itu untuk berhenti sejenak di depan mading di dekat laboratorium komputer.
"Open Recruitment Panitia PPSMB 2012"
Kurang lebih begitulah judul yang ada di poster berwarna merah yang terpampang di mading kala itu.
"Wah, mayan nih, Do. Daftar nggak?", tanya salah seorang teman gue.
Gue lihat lagi poster oprec panitia ospek tersebut dan berkata dalam hati, "Wah, lumayan nih. Siapa tau dapet jodoh. Sambil berenang, minum air."
Note: semakin ke sini gue jadi sadar, ada peribahasa lain yang lebih cocok, yaitu "Sambil wifi-an, kenalan sama mbak-mbak di meja sebelah"
Serius. Mungkin faktanya hampir 65% mahasiswa yang punya niat daftar jadi panitia ospek itu juga punya niat buat cari gebetan. Entah gebetan dari mahasiswa baru ataupun gebetan dari sesama panitia ospek. Sewaktu wawancara oprec bisa saja mereka bilang bahwa tujuan ikut kepanitiaan adalah biar dapet relasi dan pengalaman.
Singkat cerita, akhirnya gue dan beberapa teman gue sepakat buat ikutan panitia ospek. Sebagian besar ikut jadi panitia ospek jurusan, sedangkan gue sendiri ikut kepanitiaan ospek fakultas. Ospek fakultas yang tentu saja ruang lingkup buat cari "relasinya" lebih luas.
Gue nggak sendirian, ada teman gue yang namanya Jisung yang juga ikut-ikutan daftar jadi panitia ospek fakultas. Sebuah langkah yang bisa dibilang awal dari berbagai cerita manis dan pahit di kisah percintaan Jisung. (baca kisah Jisung di sini)
...
Pada hari wawancara oprec, kami berdua datang kepagian.
"Wah, yang tugas wawancara pemandu belum ada bro, gimana? Yawis, kene tak wawancarai wae karo kancaku", ucap salah satu panitia bertubuh tambun, yang kemudian gue kenal sebagai mas Yoga.
Jisung diwawancarai oleh ketua kepanitiaan PPSMB, sedangkan gue diwawancarain oleh mas Yoga, yang semula gue kira dari bagian panitia keamanan ternyata dia steering committee.
Skip, skip. Kita berdua keterima jadi panitia ospek, bagian pemandu. Entah karena kita yang emang masuk kualifikasi buat jadi pemandu atau pendaftarnya yang emang pas sama kuota pemandu yang dibutuhin.
Agenda pertama setelah pengumuman hasil wawancara adalah technical meeting, bertempat di lobby kampus. Gue berangkat bareng Jisung. Karena nggak ada yang dikenal, kami kemana-mana selalu barengan. Jalan kesana kemari sambil ngobrolin sesuatu yang nggak jelas, dan berusaha berbicara selirih mungkin sehingga cewek di sebelah nggak sadar kalau dua cowok kampret ini lagi ngomongin dia.
Di TM yang pertama, kami disuruh untuk memperkenalkan diri dengan cara saling tanya.
Halo, nama saya Arif Widodo Pratama. Biasa dipanggil Ido, bla bla bla. Mbak yang nampak cantik dan sehat, siapa namanya? *gue nunjuk seorang cewek berbadan gempal untuk memperkenalkan diri*
Dan begitu seterusnya, saling tunjuk.
Gue pasang mata sama telinga gue baik-baik. Tiap kali yang berdiri dan memperkenalkan diri kelihatan bening, hati gue langsung berontak sambil bilang "Aku mau jadi partnernya yang ini!", sementara di lain pihak otak Sherlock Holmes gue langsung bangkit, gue hafalin nama dan asal prodinya buat nanti dicari di kertas list nomor hape pemandu yang udah disediain sama panitia.
Dan benar saja, sewaktu sesi perkenalan mata gue kecantol sama satu sosok pemandu yang waktu itu pakai pakaian yang serba kuning. Yang pasti cewek, karena dia berhijab.
Mungkin kisah tentang mbak-mbak berbaju kuning bakal kita bahas di lain cerita. Sebuah cerita yang cukup panjang untuk diceritain.
Skip skip, sesi setelah perkenalan adalah pengelompokkan pemandu, siapa partnernya dan regu mana yang bakal dia pandu.
Technical meeting selesai, dan gue udah tahu siapa partner gue. Mbak Nely, anak kehutanan angkatan 2010, satu tingkat di atas gue.
Nama lengkapnya Nely Fibriana Rachman. Jangan salah nulis kata Rachman kalau nggak mau diomelin sama mbak Nely, harus pakai c, Rachman.
"Heh, Rachman pakai c. Duh, udah kayak marga nih, jangan ampe salah", begitulah reaksi mbak Nely sewaktu temannya hampir salah nulis nama dia di name tag pemandu.
Mbak Nely orangnya asik, enak diajak ngobrol dan "grapyak" kalau kata orang Jawa. Seorang mahasiswi traveler dengan wajah khas seorang wanita Jawa. Dan mbak Nely itu manis, lebih manis dari es teh di warung burjo yang gulanya nggak pernah diaduk dan cuma nempel di bagian bawah gelas.
Tapi sayang, mbak Nely nggak begitu tinggi.
Buat mbak Nely yang kalau kebetulan lagi baca, maaf ya mbak.
Ah iya, buat yang penasaran si Jisung dapet partner yang kayak gimana, bisa ditanyain langsung sama orang yang bersangkutan.
...
Singkat cerita, daftar mahasiswa baru udah diterima dan gue sama mbak Nely langsung koordinasi tentang pembagian tugas SMS.
"Mbak, aku bagian yang SMS-in maba cewek ya? Mbak Nely SMS yang cowok", kata gue ke mbak Nely.
Dan seolah paham dengan maksud gue, mbak Nely langsung bilang "Iya deh, Rif. Aku SMS-in yang cowok"
Sempet ada masalah, karena beberapa anak namanya nggak bisa diidentifikasi itu nama cewek apa cowok. Mbak Nely ngiranya itu cewek, sedangkan gue ngiranya cowok.
Hari pertemuan tiba, gue mencoba memberi kesan pertama yang baik ke adik-adik maba, gue dandan serapi mungkin. Tapi apa daya, rambut godrong gue waktu itu langsung menghancurkan imej rapi yang coba gue bangun.
Pertemuan pertama dengan para adik-adik gamada bisa dibilang agak seret, karena yang dateng cuma sedikit. Setelah gue kasih tau seputar tugas-tugas yang harus mereka kerjain, kami bubar. Ada beberapa yang tetep stay buat tanya-tanya dan ngobrol. Yang jelas ngobrol sama mbak Nely, bukan gue.
Skip skip, kita lanjut ke pertemuan kedua, atau pertemuan terakhir di H-1 PPSMB universitas dimulai. Pertemuan kedua gue nentuin tempat di utara gedung rektorat. dan gue datang telat. Karena jarak halte trans jogja ke rektorat lumayan jauh.
Begitu sampai di utara rektorat, gue langsung disambut sama mbak Nely yang langsung curhat kalau dia barusan abis kena tilang karena nggak sadar kalau adik gamada yang dia boncengin itu nggak pakai helm.
Untuk pertemuan kedua, alhamdulillah semua berangkat. Cewek maupun cowok semua lengkap.
Sekali lagi gue coba buat nyiptain imej rapi. Tapi gue sadar kalau gue gagal sewaktu nggak sengaja denger ada yang bisik-bisik "Masnya sangar ya?"
Gue absen mereka, gue panggil satu-satu buat ditanyain asal daerah. Khusus gamada cewek, gue lamain dikit waktu buat absennya, karena mata dan hati itu waktu buat pengolahan datanya berbeda.
First impression? Mereka masih lugu dan polos, beberapa masih cupu banget mukanya. Ada yang langsung aktif berisik banget, ada juga yang cuma diem ngumpet di belakang temannya yang badannya agak gede.
Eits, jangan salah. Yang waktu pertama keliatan biasa aja, beberapa bulan kemudian bakalan keliatan cantik. Pertama kali ketemu mungkin keliatan kayak begini,
Dan beberapa bulan kemudian mereka secara ajaib akan berubah jadi kayak begini,
Ngeri kan? Tapi lebih ngeri lagi kalo ternyata begini,
WHY??? Kenapa kamu berubah?
Tapi terlepas dari itu semua, pertama kali jadi panitia ospek, not bad lah. Pertama kali berdiri di depan adik-adik yang harus dipandu. Dan pertama kali ngerasain kejatuhan tai burung sewaktu kumpul di utara rektorat.
...
Hari ospek pun tiba.
Karena sewaktu rabes terakhir dikasih tahu kalau panitia harus kumpul jam setengah 6, mau nggak mau gue harus berangkat dari rumah sebelum jam 5. Jalanan masih sepi, beberapa lampu lalin juga masih kuning.
Jam setengah 6 kurang gue sampai di area kampus. Setelah tiga kali muter-muter cari area parkir (maskam, perpustakaan, belakang kopma), akhirnya gue parkirin motor di dalam kampus yang masih sepi.
"Pak, parkir di situ ya saya? Panitia PPSMB, pak!", kata gue ke pak satpam yang lagi lihat TV di pos satpam.
Begitu gue keluar dari halaman kampus, di seberang jalan gue lihat ada cewek yang juga pakai seragam panitia lagi berdiri di pinggir jalan.
"Panitia juga ya?", nggak disangka dia nyapa duluan.
"Iya, mau ke GSP kan?", tanya gue ke dia.
Nggak begitu jelas siapa yang nyapa, karena waktu itu masih jam setengah 6 dan cuma lampu jalanan di Jalan Kaliurang yang menerangi langkah kami waktu itu.
Begitu belok ke arah kanan, jalan ke arah timur dan disinari sedikit sinar matahari, barulah kelihatan jelas siapa yang jalan di sebelah gue.
And guess what? Yang jalan di sebelah gue adalah cewek berbaju kuning yang sebelumnya udah gue sebutin di atas.
Allahuakbar! Mimpi apa gue semalem?
Kurang lebih lima menit kami berdua jalan bareng ke arah GSP, dengan iringan backsong lagunya Budi Doremi yang bergema di kepala gue sepanjang perjalanan. Lima menit, waktu yang cukup untuk mengingat nama, prodi dan logat jawanya yang medhok banget.
Sesampainya di depan GSP kami berdua pisah, nyamperin partner masing-masing.
"Buajiguuuurr, jalan sama siapa tadi, cuk?", tanya Jisung sambil nabok.
"Jawaban doa anak sholeh waktu shalat Subuh tadi", jawab gue sekenanya.
Ospek pun dimulai, dimulai dengan semua peserta berbaris di lapangan GSP bersiap-siap masuk ke GSP. Kelompok gue, kelompok Limbai sebelahan sama kelompoknya Jisung, yaitu kelompok Desa.
Sebelum masuk ke GSP dan dengerin berbagai materi yang bakal disampaikan, sebagai pemandu yang baik gue tanya sama adik-adik gamada gue, "Ada yang pusing? Ada yang sakit? Kalau ada tolong maju ke sini, kakak mau kasih pin khusus buat kalian."
"Kalau yang jomblo gimana, kak?", salah satu maba cowok nyeletuk.
"Kakak juga jomblo, dek. Ntar di dalem GSP kita cari ya?", jawab gue sekenanya.
"Hahahaha, oke mas", jawab dia sambil ngacungin jempol.
Panitia udah ngasih aba-aba buat masuk GSP, dan tugas gue buat menggiring mereka dimulai. Sewaktu sampai di sayap timur tiba-tiba ada adik maba yang maju ke depan dan bilang kalau ada anak yang pusing.
Namanya Khalifa Putri, yang udah pindah jadi mahasiswi sekolah kedinasan. Adik maba yang masih ingat sama kakak pemandunya setelah berbulan-bulan dan telpon buat pamitan kalau dia mau pindah kuliah.
Skip skip, semua gamada sudah masuk GSP, dan mereka sudah duduk sesuai pengelompokkan yang sudah dibuat panitia.
Hari yang bisa dibilang panjang, karena mereka harus duduk di dalam GSP sampai sore. Belum lagi hari itu bertepatan dengan hari Jumat, dan gue masih ingat bagaimana adik-adik maba gue yang cowok ketiduran sewaktu shalat Jumat di maskam.
...
Singkat cerita ospek kelar, semua balik ke aktivitas biasa. Hari pertama masuk kuliah gue ketemu sama teman-teman yang kemarin daftar panitia ospek, mereka cerita soal pengalaman ospek dan "hal" apa yang udah mereka dapet.
Si Ucup cerita kalo dia dapet kenalan sesama panitia dari sie P3K, si Alif cerita dapet kenalan adik maba dari kelompok lain, walaupun ujung-ujungnya kelihatannya dia cuma kena PHP. Dan si Jisung yang cerita tentang adik mabanya yang sebut saja bernama Hujan (bahasa inggris, dibalik).
"Sur, dapet apa?", tanya Ucup.
"Ha? Apaan? Aku mah kalo daftar kepanitiaan pasti profesional, nggak cari yang begituan", jawab gue sekenanya mencoba buat nutupin malu karena nggak dapet gebetan.
"Lah, yang jalan bareng waktu ospek itu gimana?", tanya si Jisung.
"Oh, yang itu..."
Belum sempat gue nyelesaiin omongan gue, tiba-tiba ada cewek berjilbab yang lewat dan nyapa.
"Mas Ido~", sapa dia.
"Eh?", gue cuma bisa bilang begitu.
"Itu siapa, Sur?", tanya Ucup sekali lagi.
"Itu mabaku ya?", gue sendiri juga agak bingung, karena dia kelihatan beda, padahal baru 3 hari nggak ketemu sehabis ospek.
"Udahlah, besok tahun depan daftar lagi. Siapa tau mbak-mbak berhijab yang kemarin itu daftar juga", ucap si Jisung.
Gue masih diam terpaku, mencoba mengingat-ingat wajah adik maba yang tadi nyapa. Sampai sesaat kemudian terlintas sesuatu di otak gue.
Mungkin tahun depan gue harus ikut kepanitiaan ospek lagi.
Puasa udah masuk minggu ke-2, tapi badan tiba-tiba bermasalah. Punggung rasanya sakit tiap kali buat nunduk. Sakitnya nyalur ke dada, sampai susah buat nafas. Ini serius, bukan karena kurang makan ataupun kurang kasih sayang.
Apa ini karma karena kemarin abis nubruk bocah pakai sepeda onthel?
"Mbok coba diperiksain ke dokter, le", ibu ngasih saran buat periksa ke dokter. Ibu juga ngasih rekomendasi klinik yang jadi tempat biasa ibu periksa kalau lagi sakit.
Sehabis buka puasa, gue langsung berangkat ke klinik. Klinik ini lumayan gede, karena ada tempat buat foto rontgen sama ruang buat penanganan operasi kecil maupun sedang.
Gue masuk dan langsung ke bagian pendaftaran.
"Arif, mas. 22 tahun."
Srett...srett, gue dapet kertas pendaftaran dari mas-mas petugasnya. Dan begitu gue lihat kertas pendaftarannya gue langsung tau kalau masnya orang Sunda. Karena nama gue ditulis Arip, bukannya Arif.
Singkat cerita, gue konsultasi sama dokter dan ditanyain banyak banget.
Q: "Sebelumnya udah pernah jatuh, mas?"
A: "Belum, dok." Tapi kalau jatuh karena cinta udah berkali-kali. Fufufu
Q: "Badannya kurus. Punya penyakit tertentu, mas?"
A: "Nggak, dok. Bawaan dari kecil." Ini karena semua nutrisi di lambung diambil sama hati saya dok.
...
Di ruang rontgen ketemu sama mbak-mbak. Mbak-mbak yang sepanjang proses rontgen selalu teriak-teriak ngasih instruksi, seakan-akan gue ini manula yang pendengarannya udah berkurang.
"Mas Arif, ini dipegang ya?", serius waktu bilang ini si mbak bener-bener teriak di samping kuping.
"Relaks aja mas."
"Nanti kalau ada aba-aba, silahkan ambil nafas dalam-dalam terus ditahan ya, mas?"
Mau gue jawab pakai teriak, gue nggak enak kalau dikira petugas komdis yang tega bentak-bentak cewek.
Begitu proses rontgen selesai, gue disuruh buat nunggu di ruang tunggu. Ruang tunggu yang waktu itu entah kenapa banyak anak-anak yang pakai sarung.
"Ah iya, ini kan udah liburan. Musimnya potong burung", begitulah kira-kira hal yang terlintas di benak gue kala itu.
Sepanjang gue duduk nungguin dipanggil buat ambil obat, gue udah lihat dua anak kecil yang mau sunat dianter sama keluarga besarnya. Mereka berbondong-bondong dateng ke klinik, ada yang satu bocah ditemenin lima orang anggota keluarganya. Mereka datang pakai tiga motor, satu motor dinaikin tiga orang.
Yang terlintas di pikiran gue adalah, itu bocah nanti pulang dari klinik gimana? Masak iya satu motor buat bertiga lagi? Nggak kegencet?
...
Gue duduk di ruang tunggu sebelahan sama anak kecil yang kayaknya mau sunat juga, karena dia pakai sarung. Dia ditemenin bapak sama ibunya, si ibu duduk di sebelahnya sementara si bapak nungguin di tempat parkir sambil ngisep rokok.
Dia duduk sambil mainan game Cut The Rope di smartphone ibunya.
Selang beberapa menit si ibu pamitan buat ke toilet, dan gue pun iseng-iseng ngajakin si bocah buat ngobrol.
Ido: "Mau ngapain dek? Sunat?"
Bocah: *manggut-manggut diem*
Ido: "Nggak takut?"
Bocah: *senyum-senyum terus melengos ke arah lain*
Ido: "Sunat nggak sakit kok dek."
Bocah: *ngeliatin*
Ido: "Tapi pas abis sunat perihnya bukan main. Kalau burungnya kesenggol sarung aja perih. Buat kencing juga perih."
Bocah: *diem nunduk, nguntel-nguntel sarung*
Dari kejauhan terlihat ibunya jalan keluar dari toilet. Dan gue pun bergegas pindah ke bagian pengambilan obat. Daripada si bocah ngadu, terus gue juga disuruh sunat nemenin dia. Beruntung banget nama gue langsung dipanggil buat giliran ngambil obat. Gue ambil obatnya, langsung bayar dan buru-buru pulang.
Entah si adek tadi jadi sunat apa enggak.