Temenan yuk.

"Do, lu udah pernah liat karapan sapi belum?"
"Banyak garam dong di sana?"
"Rif, udah bisa ngomong bahasa madura belum?"
"Makan sate terus dong lu di sana"
"Udah bisa ngomong sama sapi belum?"

Ya, kira-kira begitulah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh teman-teman sewaktu mereka tahu bahwa saya sekarang merantau di Madura.

Pertengahan Desember 2017, kali pertama saya melangkah menginjakkan kaki di bumi karapan sapi ini. Berangkat dari Taspen Surabaya dengan mengendarai sepeda motor.

Waktu itu saya sangat antusias karena saya akan melewati Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Madura. Saking antusiasnya, waktu itu saya sampai mengeluarkan handphone untuk merekam suasana ketika saya menyeberangi jembatan. Ngeri-ngeri sedap, anginnya beneran kayak lagi di tengah laut. 

Lah emang di tengah laut.

Suramadu pada malam hari (src: google images)
Sebuah pemandangan yang sangat berbeda. Jika suatu saat kalian berkesempatan menyeberangi Jembatan Suramadu, coba bandingkan pemandangan antara kota Surabaya dan pulau Madura, terutama di malam hari. Jika kalian bertolak dari Surabaya ke Madura, sewaktu melihat ke utara, yang kalian lihat hanyalah suasana gelap dengan beberapa lampu yang menerangi. Sebaliknya, jika kalian bertolak dari Madura ke Surabaya, yang kalian lihat adalah gedung-gedung pencakar langit dengan gemerlap lampu layaknya ibukota Jakarta.

Di kesempatan yang serba dibatasi ini, saya ingin berbagi sedikit cerita, sebagai seorang tuna asmara yang sudah 3 kali menjalani bulan Ramadhan dan (hampir) 1 kali lebaran di Madura.

Ngomongin soal Madura, tidak akan lepas dari yang namanya Karapan Sapi. Tapi jujur, sampai detik ini saya sendiri malah belum pernah menyaksikan secara langsung sebuah pertunjukan karapan sapi. Kalau nggak pas mudik ya ketiduran di kos.

-

Ketika kalian melewati Jembatan Suramadu, yang akan kalian lihat adalah wilayah Kabupaten Bangkalan.
Pulau Madura (src: www.eastjava.com)
Pulau Madura terbagi menjadi 4 kabupaten. Dimulai dari sebelah barat, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep di ujung sebelah timur dengan beberapa pulaunya.

Untuk kalian yang ngiler pengen nyobain Bebek Sinjay, Bangkalan adalah pusatnya. Walaupun ada banyak cabang di luar Madura, tapi menurut hasil wawancara saya, Bebek Sinjay di Bangkalanlah yang paling juara.

Tahan, brooooo (src: IDN Times)
Dan di Bangkalan ini jugalah terdapat satu-satunya Mall Matahari di Pulau Madura. The one and only.

Perjalanan dari pintu keluar jembatan Suramadu menuju Kabupaten Pamekasan tempat saya bekerja memakan waktu kurang lebih 2,5 jam apabila lancar.

Mengapa di sini saya katakan "apabila lancar"?

Berkunjunglah ke Madura, maka kalian akan tahu fenomena pasar tumpah yang bisa memblokade jalan nasional dan membuat pening kepala. Dua setengah tahun di sini dan alhamdulillah sekarang saya sudah hafal hari jadwal pasaran di Madura.

Sepanjang perjalanan kalian akan menemui bapak-bapak, mas-mas atau bahkan anak-anak yang naik sepeda motor mengenakan sarung dan peci (tanpa helm). Sebuah pemandangan yang agak ganjil apabila kalian baru pertama kali datang ke sini, tapi ini benar adanya, sekalipun kalian sedang berada di jalan nasional yang notabene sering dilewati bus dan truk besar.

Jadi, kalau ada yang bikin meme mengenai role hero di Mobile Legend  ataupun Dota2 dan orang Madura disebut sebagai Tanker, mungkin itu ada benarnya juga.

Kabupaten setelah Bangkalan adalah Sampang. Dengan slogannya Sampang Bahari, yang kadang diplesetkan menjadi Sampang Banjir Berhari-hari.

Sudah menjadi sebuah fakta bahwa Kabupaten Sampang adalah langganan banjir karena letak geografisnya yang lebih rendah daripada permukaan laut. Bahkan saya pernah mendengar cerita, pada suatu waktu Sampang dilanda banjir dan tingginya hampir setinggi rumah, dan menyebabkan lumpuhnya transportasi bus karena tidak bisa melewati Sampang.

Buat yang udah pernah denger lagu "Sampang Banjir Pole" dari mas-mas jamet kuproy, sekarang paham kan kenapa di situ nyebut-nyebut "Sampang Banjir"?

Tapi beberapa tindakan pencegahan sudah dilakukan oleh Pemkab Sampang dengan membangun pembatas berukuran tinggi di sepanjang bantaran sungai yang melewati wilayah Sampang Kota.

Di sepanjang jalan dari Sampang menuju Pamekasan kalian akan menemui beberapa rumah makan yang dibangun di pinggir pantai. Mereka membangung rumah makannya sedemikian rupa sehingga para pengunjung bisa menikmati makanan sembari menikmati hembusan angin laut.

Salah satu rumah makan pinggir laut yang terkenal di Sampang (src: www.dakatour.com)
Untuk kalian yang berjiwa sore (anak senja dan anak indie), sempatkanlah mampir di deretan rumah makan ini untuk menyesap kopi kalian sembari melihat senja dan mendengarkan lagu yang hanya bisa dinikmati oleh kaum kalian. NEXT!

Di perbatasan Sampang dan Pamekasan kalian akan menemui sebuah pasar ikan, yang menjajakan ikan-ikan segar hasil tangkapan nelayan. Jangan lewat daerah ini sewaktu sore ataupun petang, karena kalian sudah pasti akan terjebak di lalu-lalang kendaraan maupun orang yang berbelanja ikan.

Berikutnya adalah Kabupaten Pamekasan, tempat di mana saya menghabiskan 2,5 tahun hidup saya sebagai perantau yang mencoba belajar bahasa Madura, tapi sampai sekarang hanya bisa menjadi pengguna bahasa Madura pasif. Da'ramma cong? Payah.

Di Pamekasan inilah saya mengenal sedikit budaya yang dinamakan makanan berlemak dan keras, yang disebut kaldu kokot. Masakan olahan tulang sapi dan sumsumnya, dimasakan dengan kuah yang penuh dengan lemak. Yang dengan memandangnya saja Anda pasti langsung merasakan kolesterol otomatis naik setelah makan ini.

Kaldu kokot yang jahanam kolesterolnya (src: www.merahputih.com)
Selain kaldu kokot, ada juga yang namanya Campur Lorjuk. Sebuah olahan makanan dengan bahan utama kerang bambu, diolah sedemikian rupa menyerupai soto namun bukan soto.

Buat yang udah nonton film "Aruna dan Lidahnya" pasti tahu, karena salah satu setting yang diambil dalam film ini adalah warung Campur Lorjuk yang terletak di Pamekasan. Serius, enak banget!

Campur Lorjuk, kalau ini saya doyan (src: www.merdeka.com)
Meskipun Madura terkenal dengan satenya, ternyata ada satu makanan daerah lain yang juga mendominasi di sini, yaitu pecel.

Di Pamekasan sendiri kalian akan menemukan warung pecel hampir di setiap sudut. Bahkan ada satu warung dengan brand "Warung Pecel Blitar Bersaudara" dengan nomor di akhir namanya, Bersaudara 1, Bersaudara 2, dan seterusnya.

Untuk penyuka durian, di Pamekasan terdapat satu daerah penghasil durian yang manis. Walaupun ukurannya kecil tetapi rasanya ciamik. Durian Pamekasanlah yang bisa merubah lidah saya yang semula benci durian menjadi suka. Ya karena sempat dipaksa Mas Zul atasan saya juga sih waktu itu, tapi berawal dari paksaan itulah saya menemukan sebuah keniqmatan.

Wabup Pamekasan tengah berada di acara Festival Durian 2020 (src: suara indonesia.co.id)
Beranjak ke wilayah paling timur Pulau Madura, yaitu Sumenep. Kabupaten yang katanya ceweknya cantik-cantik karena ada keturunan keratonnya. Tapi, secantik apapun wanita di sini, saya tetap saja tidak pernah berani macam-macam, salah godain punya orang bisa tiwas ente di sini.

Sumenep merupakan daerah yang memiliki gugusan kepulauan dalam wilayahnya. Jika kalian membuka Google Maps, kalian akan menjumpai Pulau Kangean yang letaknya hampir di atas Pulau Lombok, dan itu ternyata masih masuk ke wilayah Kabupaten Sumenep. Diperlukan waktu 4 jam untuk berkunjung ke sana menggunakan kapal ekspres, dan 10 jam apabila menggunakan yang bukan ekspres (tolong dikoreksi jika saya salah).

Jika di Pamekasan tadi ada durian, maka di Sumenep juga ada buah khas, yaitu melon Kangean. Melon dengan citarasa yang benar-benar harum dan manis. Yang bisa membuat kalian tidak rela membaginya dengan orang lain. Datanglah ke Sumenep pada kisaran bulan Agustus-September jika kalian ingin merasakan kenikmatan melon yang tiada tara.

Benar adanya bahwa Sumenep memiliki keraton. Festival keraton 2018 kemarin saja digelar di Sumenep. Pernah ada yang bilang juga, semakin ke timur bahasa Maduranya akan semakin halus.

Panggung acara Festival Keraton 2018 di depan Masjid Agung Sumenep (src: archipelagos.id)
Untuk yang suka nongkrong makan mie, di Sumenep terdapat satu-satunya Warunk Upnormal di Madura. Jadi, bayangkan saja ketika saya ngiler kepingin makan di Upnormal, saya harus menempuh perjalanan 1 jam menggunakan mobil ke Sumenep.
-
Terlepas dari berbagai stereotype orang mengenai masyarakat Madura. Ada yang bilang sangar lah, keras lah, atau seram lah, masyarakat Madura yang selama dua setengah tahun ini saya kenal adalah orang-orang yang baik. Di mana langit dijunjung, di situ bumi dipijak, bersikap baiklah maka kalian akan dibalas dengan kebaikan yang lebih oleh orang Madura.

Jika kalian punya istilah Crazy Rich bla bla bla, maka di Madura juga ada. Dan lucunya, mereka tidak nampak seperti orang kaya, namun jangan ditanya, sekalinya datang ke ATM setor tunai, bisa dibikin nunggu lama kita karena saking banyaknya duit yang disetor.

Sebuah fenomena yang unik. Jika di daerah lain ATM sering error karena tidak ada uangnya, maka di Madura ATM akan error karena duitnya sudah penuh. Memang sultan.

Pernah suatu ketika saya masuk ke gallery ATM, dari segitu banyaknya yang antre cuma saya yang mau tarik tunai, yang lain pada mau setor. :(

Ah iya, dua setengah tahun di sini saya jarang banget malah hampir tidak pernah mendengar orang berbicara menggunakan kata "tak iye" seperti yang sering diucapkan pelawak Kadir. Jadi, itu mungkin hanya gimmick semata.

Sekian sebuah cerita singkat mengenai dinamika Madura (udah kayak tagline radio lokal Pamekasan) dari mata seorang tuna asmara.

Untuk versi lucu dan singkatnya bisa dilihat di IG-TV saya. Mator sakalangkong, bos!