"Do, lihat tuh! Bening banget, bro!"
Kira-kira begitulah susunan kosakata dan kalimat yang sering dilontarkan oleh teman-teman ketika melihat cewek cakep lewat di selasar kampus, tentu saja sambil nunjuk-nunjuk kayak tukang parkir.
Gue punya dua pilihan di sini: 1) lari nyamperin cewek cakep tersebut terus bilang ke dia, "kamu cantik, mau nggak aku promosiin ke instagram bidadariUGM?", atau 2) diam dan bersikap santai. Gue memilih pilihan kedua, karena gue cupu dan gue nggak begitu ngerti gimana cara gunain instagram.
"Iya, nih bro akun facebook-nya. Cantik sih, tapi alay sama suka nyepam notification game di facebook," kata gue dengan santai sambil nunjukin akun facebook cewek yang dimaksud bak salesman yang lagi buka buku katalog barang.
Bisa dibilang ini kegiatan normal yang para jomblo lapuk sering lakukan ketika nongkrong di kampus.
Tertarik sama lawan jenis yang style-nya perfect abis emang bisa dibilang sesuatu yang normal. Tapi sebagai kaum cupu, kami cuma bisa tertarik doank tanpa bisa ngomong ke orangnya. Buat sekedar bilang "Hai!" aja mungkin gue bisa ngomong sambil gemeteran.
Gue. Sewaktu nyapa cewek. |
Ekspresi muka gue sehabis disapa sama adik angkatan yang cakep. |
"Ini nih cantik! Tapi kalau pakai jilbab, rambutnya kemana-mana."
"Ini juga cantik, kalau pakai parfum baunya kayak kembang kantil deket perpus pusat."
"Ini juga cantik nih, top dah! Masuk list UGM Cantik."
Iya, cuma bisa nunjuk-nunjuk foto di Facebook doank. Warbiasa! Super sekali.
Tapi kalau ngomongin soal seseorang yang berhasil menarik hati, gue nggak bakalan bisa lupa sama cewek yang berhasil membuat gue tertarik untuk pertama kalinya di bangku kuliah. Cantiknya dia, manisnya senyum dia sama sakit yang dia kasih, karena gue yang terlalu cupu buat bisa kenal lebih jauh sama dia sebelum akhirnya dia jadi milik orang lain.
Sebut saja dia si Neng, atau si Neng geulis karena dia orang Sunda.
Gue nggak perlu sebut nama. Buat kalian yang langsung paham, you know me so well lah pokoknya.
Ngomongin soal si Neng berarti kita harus terbang lagi ke masa lalu, masa di mana gue masih terlalu cupu buat jalan sendirian di kampus, masa di mana gue lebih memilih buat nahan kencing biar bisa kencing di rumah daripada harus jalan sendiri menuju kamar mandi kampus.
Makanya, di mana-mana yang namanya mengingat masa lalu itu yang ada cuma ingat sakitnya doank.
...
Gue termasuk salah satu orang yang nggak percaya sama istilah "Cinta pada pandangan pertama", karena semua yang instan itu nggak baik, gampang lembek kayak mie instan yang kelamaan direbus. Dan juga karena gue nggak begitu ingat kapan dan di mana pertama kali gue ketemu si Neng.
Yang gue ingat, kami selalu dipertemukan dalam keadaan yang tidak terduga. Mulai dari tikungan lampu merah K*C depan MIPA selatan, depan pos satpam, di sela-sela pagi gue yang terburu-buru karena terlambat masuk kelas dan bahkan di kerumunan mahasiswa yang penuh berdesakkan karena mau tukeran kelas.
Mungkin beberapa dari kalian bakal ngira kalau itu semua kelihatan so sweet karena kami selalu dipertemukan dalam momen yang tak terduga, tapi kalian salah.
Kami selalu ketemu dalam keadaan yang tidak terduga dan tidak tepat. Karena kami selalu dipertemukan ketika gue sedang dalam keadaan kucel, jelek dan acak-acakan sedangkan dia selalu kelihatan cantik dan manis.
Sebenarnya ini semua nggak ada hubungannya sama situasi, karena emang dari sananya gue udah kucel bawaannya.
...
Masa-masa semester satu, masa di mana gue masih bisa memandang setiap tatapan manis yang dikasih sama si Neng. Tatapan yang sampai sekarang belum bisa gue pecahin misterinya. Misteri Tatapan Si Neng, kurang lebih begitulah judulnya kalau ada yang kurang kerjaan mau mengangkat tulisan ini jadi sebuah sinetron.
Serius, buat seorang cowok item kayak gue, bisa punya pacar ataupun gebetan yang cantik, manis, berjilbab dan berkulit putih itu kayak makan martabak manis coklat keju terus sekarat karena keenakan, begitu bangun di rumah sakit dibawain martabak manis lagi, sekarat lagi dan begitu seterusnya.
Tapi semua berubah semenjak salah satu dari teman gue bilang ,"Do, dia ternyata udah jadian. Sama mas yg itu."
"Oh, yaudah," begitulah kira-kira reaksi gue waktu itu.
Sebetulnya gue pengen lari ke depan kampus dan nyundul gerobak gorengan yang ada di samping kopma sambil teriak "KENAPA!!??", kemudian teriak di muka abang penjualnya "Kenapa, bang? Kenapa abang naruh cabe di tengah risolnya? KENAPA?". Tapi akhirnya gue memilih buat bersikap cool karena warung gorengan samping kopma waktu itu belum buka.
Ada yang berubah semenjak waktu itu. Dulu sewaktu dia masih single, tiap kali lihat dia senyum rasanya kayak makan martabak manis spesial rasa coklat keju. Tapi sekarang, rasanya kayak makan martabak manis coklat keju yang mesesnya pakai meses abal-abal dan banyakan kejunya daripada coklatnya. Abis itu waktu makan masih dibisikin sama abang yang jualan "Tong, inget. Yang elu liat itu pacar orang. Inget, dia udah jadi pacar orang. Nggak enak 'kan rasanya?"
Iya sih, tetap martabak manis. Tapi bagaimanapun juga, rasanya tetap saja beda.
...
Waktu mungkin obat yang paling baik untuk semua luka.
Gue selalu bilang ke teman-teman gue, "Yang namanya perasaan harus diungkapin. Seperti ketika kalian gak sengaja kesetrum terus kalian ngucap 'Anjrit', 'Bajirut' dan lain sebagainya."
Akan tetapi, untuk cerita si Neng kali ini, mungkin gue akan bikin satu pengecualian. Karena ada kalanya sebuah rasa itu tidak harus diungkapkan. Seperti ketika kalian nggak sengaja menginjak tahi ayam. Yang kalian lakukan cuma belagak diam sambil ngusap-usapin kaki ke tanah tanpa harus teriak-teriak "Woi gue nginjek tai ayam woi! Sini bro, groufie dulu sama tai ayam!"
Mungkin, gue cuma perlu menemukan kebahagiaan-kebahagiaan kecil di antara semua barisan cerita ini.
...
Mungkin besok-besok gue juga bakalan cerita (red: curhat) tentang perjalanan cinta gue yang lainnya, biar kalian bisa tahu seberapa fakirkah gue dalam hal percintaan. Yang berakhir penasaran, berakhir dengan keihklasan atau yang sampai sekarang belum jelas gimana akhirnya? Any ideas?