Beberapa hari kemarin dikarenakan suatu hal, gue terpaksa menggunakan Transjogja sebagai sarana transportasi ke kampus. Bisa dibilang enak, bisa juga dibilang nggak enak. Dan setelah lima hari berdiri pegangan handle di dalam Transjogja, gue pulang membawa dua buah berita, berita baik dan berita buruk.
Berita baiknya, gue jadi punya cerita buat ditulis di blog ini. Dan berita buruknya, lima hari naik Transjogja gue awalnya berharap bakalan jadi magnet buat cewek-cewek cantik, tapi kenyataannya gue malah jadi magnet bagi ibu-ibu dan nenek-nenek.
Sebelumnya, gue mau tanya. Terutama sama kalian yang tinggal di Jogja, udah pernah naik Transjogja belum?
Tinggal di Jogja tapi belum pernah naik Transjogja itu kayak pacaran tapi belum pernah upload foto berdua, nggak wajib sih, tapi kayak udah jadi tradisi.
Ketika pertama kali beroperasi pada bulan Februari tahun 2008, Transjogja bisa dibilang masih mulus banget, semua hampir serba enak. Tapi sekarang sudah banyak yang berubah dari dia, Mulai dari handle yang kendor, pintu yang rusak, AC yang kadang mati kadang hidup dan supir yang kadang bawa busnya kayak bawa mobil yang ngangkut kasur.
Dan inilah cerita kali ini tentang seonggok jomblo di dalam sebuah Transjogja...
Semua ini berawal ketika gue melangkah memasuki halte Transjogja dan berhadapan dengan mas-mas atau mbak-mbak petugas tiket yang akan berwajah sedikit muram apabila kita nggak ngeluarin uang pas buat bayar tiketnya.
Setelah dapat tiket, gue masuk ke halte dan nungguin busnya datang. Momen nunggu ini juga bisa jadi momen paling ngebosenin.
Duduk sendirian, di samping ada orang tapi nggak kenal, mau ngajak kenalan takut disangka agen asuransi yang mau nawarin jasa asuransi. Kalau di depan ada cewek cantik, mau lihat juga nggak enak, takut dikatain "Udah jomblo, jelalatan pula", mau ngajak kenalan tapi lupa bawa nyali.
Sorry, mungkin gue jomblo, tapi gue masih tahu apa itu zina mata. *benerin kacamata*
Terkadang ada momen dimana ketika kita lagi nunggu, tiba-tiba ada orang yang nyapa, entah itu tanya jalur atau tanya jam. Tapi nggak enaknya kalau diajak ngobrol sama ibu-ibu atau nenek-nenek yang bawel.
Pernah waktu itu gue diajak ngobrol sama embah-embah, pertama dia tanya soal jalur kalau mau ke Kotagede, abis itu ngobrolnya tambah panjang mulai dari ngobrolin masa mudanya dulu waktu jualan beras sampai ngobrolin anaknya yang jadi TKI di Malaysia. Untung si nenek nggak cerita tentang masa mudanya dulu waktu diPHP-in sama si kakek.
Karena gue nggak tahu harga beras dan gue nggak tahu soal Malaysia, jadi gue cuma bisa senyum sambil ngangguk-ngangguk.
Duduk di dalam Transjogja tidak semudah yang kalian bayangkan. Sebagai seorang jomblo yang selalu naik Transjogja sendirian, gue selalu merasa kesepian, nggak ada yang bisa diajak ngobrol.
Percayalah, 60% orang yang ada di dalam Transjogja pasti sibuk mainan gadget. Serius.
Dan kalau kalian naik Transjogja, pasti ada yang namanya transit. Yaitu turun di sebuah halte buat ganti bus. Dan gue salah satu mahasiswa penikmat transit.
Karena gue biasa transit di halte bandara, jadi cerita tentang momen transit kali ini bakalan lebih elegan dari momen lainnya.
Transit di bandara otomatis kalian bakalan lebih sering ketemu bule-bule yang baru turun dari pesawat dan nggunain Transjogja sebagai sarana transportasi mereka. Dan terkadang ada bule yang bingung dan bakalan tanya sama kita, nah ini dia yang disebut transit elegan, transit bareng bule.
Nggak cuma ketemu bule, transit di bandara juga punya 65% kemungkinan ketemu cewek cantik. Serius.
Pernah waktu itu gue lagi nunggu bus 3A di bandara dan tiba-tiba ada cewek cantik duduk di sebelah. Kalau dilihat dari mukanya sih masih mahasiswa, anak kedokteran UGM, karena dia bawa buku kedokteran. Gue bingung musti ngapain, dan akhirnya gue memilih buat pura-pura tidur.
Transjogja nggak cuma sarana transportasi yang memungkinkan kita buat ketemu cewek cantik, tapi juga waria dan orang stress.
Pernah waktu itu gue satu bus sama mbak atau mas gue nggak tahu harus manggil apa. Baju mereka sih feminim, lengan terbuka dan paha terbuka, belahan dada juga terbuka (?). Tapi paha dan lengan mereka menunjukkan bahwa hormon testosteron mereka lebih dominan daripada hormon estrogen.
Berkali-kali naik Transjogja, gue selalu bertanya dalam hati "Ada nggak ya orang yang mabuk angkutan waktu naik Transjogja?"
Dan akhirnya, beberapa minggu kemarin pertanyaan gue terjawab. Gue nemuin anak kecil muntah di dalam Transjogja. YES!!!
Dia naik bareng bapak sama ibunya. Untung ibunya bawa tas kresek, jadi anak kecil itu nggak muntah di lantai bus. Dan si bapak cuma bisa ngomelin anaknya "Woo, ndeso! Numpak ngene we muntah", ini serius.
Jadi, begitulah Transjogja. Kadang dia memberi kita tempat duduk, kadang dia membiarkan kita berdiri. Kadang dia memberikan tempat duduk yang enak di samping wanita cantik, kadang dia memberikan tempat duduk di samping orang gemuk.
Duduk di samping orang gemuk itu juga derita tersendiri, apalagi buat cowok kurus kayak gue. Yang terjadi ketika kita duduk di samping orang gemuk adalah orang itu bakalan lebih sering mengangkat pantatnya sambil bergeser-geser ke arah kita, sambil seolah-olah pantatnya berteriak "Aku butuh yang lebih dari ini! Beri aku kebebasan!"
Tapi terkadang, cewek cantik dan seksi pun juga bisa membuat kita merasa terganggu. Pernah waktu itu gue naik Transjogja, begitu masuk gue langsung duduk, kebetulan tempat duduknya tinggal satu dan parahnya gue duduk berseberangan sama mbak-mbak SPG yang pake rok mini.
Kampreeeeett, berdoa apa gue tadi sehabis sholat?!
Dan begitu gue duduk, si mbak langsung duduknya jadi agak miring dan sambil benerin rok.
Ya, begitulah cerita tentang seonggok jomblo di dalam sebuah Transjogja. Ada pahitnya, ada manisnya ada juga absurdnya. Tapi tetep nggak ada jodohnya.
Semoga ke depannya Transjogja bakalan lebih mengerti tentang kebutuhan para jomblo dan nambahin fitur khusus buat para jomblo.
Tempat duduk spesial buat para jomblo.
Jadi, setelah selesai baca-baca, apakah kita pernah berada di dalam satu bus yang sama?